Cak Anas, sapaan Anas Hasyim, adalah seorang mantan instruktur selancar asal Bali yang pindah ke Jepang karena cinta. Cak Anas menikahi seorang warga Jepang yang ia kenal di Bali. Namun sejak menetap di negeri Sakura pada 2011, ia justru menemukan panggilan hidup baru: menjadi penghubung dan penguat bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sering kali datang tanpa cukup bekal, lalu tersesat dalam sistem kerja yang rumit dan penuh tantangan.
Minat masyarakat Indonesia untuk bekerja di luar negeri terus meningkat, mencerminkan semangat mencari peluang yang lebih luas sekaligus memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia di kancah global. Berdasarkan data KP2MI, sepanjang Desember 2024 tercatat sebanyak 25.273 layanan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), meningkat 11,18% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Kenaikan ini menjadi indikator meningkatnya mobilitas tenaga kerja yang ingin berkontribusi secara ekonomi sekaligus memperluas wawasan dan keterampilan di tingkat internasional.
Namun, di balik semangat tersebut, terselip pertanyaan: Seberapa siap mereka sebelum berangkat? Fakta di lapangan menunjukkan tidak sedikit calon PMI memulai proses migrasi tanpa keterampilan dasar, tanpa pemahaman budaya kerja negara tujuan, bahkan tanpa jalur penempatan yang legal.
Minimnya informasi, belum meratanya kualitas dan akuntabilitas lembaga penyalur, serta rendahnya literasi keuangan dan kemampuan bahasa asing membuat banyak pekerja rentan ditipu, dieksploitasi, atau gagal bertahan dalam sistem kerja yang kompetitif dan penuh tantangan.
Masalah-masalah ini pula yang sering Cak Anas hadapi. Sebagai orang yang aktif menjadi penghubung antarwarga Indonesia di Jepang, ia rutin berkeliling menjangkau PMI di Prefektur Ibaraki. Dalam pertemuan-pertemuannya, Cak Anas membangun ruang komunikasi, menyebarkan informasi penting, dan memberikan dukungan moral. Dalam perannya sebagai relawan sosial, ia menyaksikan langsung berbagai persoalan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal
Ketidaksiapan Dasar yang Berulang
Menurut Cak Anas, masalah utama yang berulang adalah ketidaksiapan dasar terkait kualitas talenta. Banyak calon PMI tidak memiliki kemampuan bahasa memadai, dan terjebak dalam bujuk rayu Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang tidak legal. Beberapa LPK hanya memberikan pelatihan bahasa dengan biaya tinggi, tanpa membekali calon pekerja dengan pengetahuan tentang sistem kerja, budaya organisasi, maupun etika profesional di negara tujuan.
Bahkan, banyak yang tergoda iming-iming keberangkatan cepat dan gaji besar dari LPK fiktif. Padahal, menurutnya, proses yang terlalu instan justru cenderung menjerumuskan ke kondisi kerja yang rentan.
"Akan sangat baik jika para calon pekerja bisa mendapatkan pelatihan sebelum berangkat, sebagai bekal yang memadai. Sayang sekali jika sudah menempuh perjalanan jauh dari Indonesia ke negara lain, namun justru menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks," jelas Cak Anas.
Persiapan ideal, menurutnya, mencakup setidaknya lima bulan pelatihan intensif, mulai dari bahasa, pemahaman sistem ketenagakerjaan, hingga pembekalan budaya dan mental. Edukasi ini bukan hanya soal keahlian teknis, tetapi perlindungan dasar bagi pekerja agar mampu menghadapi tantangan secara sadar dan mandiri.
Cak Anas mencatat bahwa dari banyak kasus overstay (berada di luar negeri tanpa visa) yang ia temui, sekitar 60% terjadi karena penipuan dari LPK fiktif, sementara 40% sisanya disebabkan pekerja yang kabur dari perusahaan akibat ketidaksesuaian dengan kontrak kerja. Minimnya pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai pekerja resmi menyebabkan banyak PMI terjebak dalam situasi ilegal, yang pada akhirnya membahayakan posisi mereka secara hukum dan sosial di negara tujuan.
(ang/ang)