Pulau Sumba menyimpan potensi ekonomi yang besar. Di balik sunyinya desa-desa terpencil di wilayah tersebut, tersembunyi potensi ekonomi yang mulai menarik perhatian selain sektor pariwisata, yaitu tanaman porang dan kemiri.
Di Desa Mata Wee Lima, Sumba Barat Daya, tanaman porang yang ditanam oleh masyarakat desa mulai dilirik diam-diam. Selama ini, warga menjual porang dan kemiri ke pengepul dengan harga rendah, tanpa tahu nilainya yang tinggi di pasar modern, baik untuk pangan sehat maupun industri.
"Porang itu kemarin kami jual, ada di Rp 12 ribu (per kilo). Tapi sudah panen kemarin. Satu tahun sekali. Kemarin itu kami jual 1 ton," kata Regina Theedens atau dikenal dengan Mama Nona usai mengikuti pelatihan calon UMKM baru di Balai Desa Mata Wee Lima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para ibu atau 'Mama' sebagaimana masyarakat Sumba menyebut orang tua perempuan, tidak tahu bahwa porang kini menjadi bahan makanan sehat yang populer di kalangan masyarakat kota. Padahal, di luar desa, kedua komoditas ini bernilai tinggi di pasar modern, baik sebagai bahan pangan sehat maupun produk olahan industri.
Yang mereka tahu, porang yang dijual saat masa panen, seketika langsung diserap oleh orang-orang dari luar desa.
"(Waktu itu dijual) langsung buat kebutuhan anak sekolah, karena mendesak sekali," ujar Regina yang kini berusia 50 tahun.
Setidaknya, pelatihan jualan daring menjadi titik awal perubahan. Para ibu rumah tangga mulai menyadari bahwa hasil kebun mereka punya nilai lebih, dan bahwa mereka bisa menentukan harga sendiri tanpa perantara.
![]() |
Elisabeth Veronica Bessu (44), adalah salah satu peserta pelatihan UMKM yang digelar di Desa Mata Wee Lima. Saat materi disampaikan selama kurang lebih dari 3 jam lebih oleh tim pengembangan UMKM Shopee Indonesia, ia mengikuti setiap sesi dengan penuh perhatian. Sepanjang kegiatan, ia tampak tekun mencatat, menyerap materi yang terasa baru baginya.
Menurut Elisabeth, pelatihan ini membuka wawasan baru, khususnya tentang bagaimana hasil pertanian desa yang selama ini hanya dikonsumsi sendiri atau dijual di pasar lokal, ternyata bisa menjangkau pasar yang jauh lebih luas lewat platform digital.
"Kemarin memang saya mencatat dari yang Kakak Aci (trainer Shopee) sampaikan. Dia bilang, cara pengambilan foto (produk), terus nama merek produk apa yang kita cari. Bagaimana hasilnya nanti kita lihat lagi. Apakah masih bagus atau tidak saya orang itu melihat menarik untuk dibeli," kata Elisabeth.
Ia juga ingin pelatihan ini tidak hanya sekali saja dilakukan.
"Kalau ada pelatihan lagi, cara-cara supaya kami bisa belajar bisa menggunakan HP (ponsel) untuk mengirim barang. Produknya dikirim melalui HP," kata Elisabeth.
Di kesempatan yang sama, Penjabat Kepala Desa Mata Wee Lima, Nikodemus Umbudiala menyebut aktivitas berkebun adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga. Ladang menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan harian, sekaligus penopang ekonomi keluarga.
"Budaya yang terikat di sini adalah gotong royong, sangat menonjol. Contoh, kalau ada pesta atau kegiatan adat, mereka selalu saling bantu atas dasar kekeluargaan," kata Nikodemus.
Selain hasil tani, Desa Mata Wee Lima juga dikenal dengan kain tenun dan anyaman tangan. Meski sebagian besar dibuat untuk keperluan adat, warisan ini tetap dirawat dan kini mulai dikerjakan di malam hari berkat hadirnya listrik.
"Dulu malam hari tak ada aktivitas karena pakai minyak tanah (listrik pakai lampu pelita). Sekarang, setelah dari kebun, mereka bisa lanjut menenun atau menganyam di rumah. Aktivitas produktif itu terjadi malam hari," pungkasnya.
(akd/akd)