Posisi keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai keuangan negara menuai polemik, sehingga mau dipisahkan. Untuk mendukungnya, pakar dari sejumlah universitas di Indonesia memandang perlu aturan jelas yang membedakan kerugian bisnis dan kerugian negara dari operasional BUMN.
Pemisahan posisi antara keuangan BUMN dan negara selaras dengan Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang hingga saat ini masih terus digodok. Para pakar juga memandang, perlu aturan yang memuat penjelasan kapan kerugian bisnis bisa dikategorikan sebagai kerugian negara.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Lampung, Rudy Lukman, mengatakan prinsip business judgment rule menjadi dasar pertimbangan dari posisi keuangan BUMN sudah diakui oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, belum dituangkan secara rinci dalam peraturan perundang-undangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita jangan takut untuk melakukan aturan yang detail mengenai bisnis judgment rule ini yang selama ini kita tidak membuat ini tidak explicit gitu, harusnya kan ya nggak masalah," ujar saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI dengan Pakar terkait masukan terhadap RUU Perubahan keempat UU BUMN, Kamis (25/9/2025).
Bisnis judgment rule berarti perlindungan direksi dari gugatan hukum atas keputusan bisnis yang ternyata menimbulkan kerugian, asalkan keputusan itu dengan tujuan benar.
Rudy menyarankan agar aturan detail terkait hal tersebut tidak dibuat hanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), yang lepas dari campur tangan DPR. Harapannya, aturan itu bisa dibentuk setara UU yang melibatkan DPR dan pemerintah.
"Tidak ada yang namanya hal yang haram dalam membuat undang-undang yang detail asalkan itu kemudian menjadi jelas dalam hal politik hukumnya," ujar Rudy.
Banyak Aturan Tak Harmonis
Sementara itu, pakar dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Mailinda Eka Yuniza menyoroti tentang banyaknya regulasi terkait perusahaan-perusahaan pelat merah yang menurutnya belum harmonis. Hal ini khususnya aturan-aturan yang terkait dalam posisi keuangan BUMN sebagai keuangan negara.
Menurutnya, terdapat perbedaan ketentuan terkait kerugian negara antara Undang-Undang (UU) BUMN dengan paket UU Keuangan Negara dan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Terkait hal ini, terdapat klaim yang menyebut bahwa BUMN sebagai bagian dari keuangan negara, membuat para pejabatnya rawan terjerat UU Tipikor.
"Kita harus perhatikan, apakah memang yang menjadi masalah ketika keuangan BUMN menjadi bagian keuangan negara, atau jangan-jangan ada persepsi yang berbeda tentang delik dari Tipikor itu sendiri," ujar Mailinda dalam kesempatan yang sama.
"Kalau misalnya yang berbeda adalah delik Tipikor-nya, maka yang harus kita perbaiki adalah persamaan perspektif, Tipikor itu diartikan sebagai apa," sambungnya.
Pakar dari Fakultas Hukum Universitas Jember I Gede Widhiana Suarda menyampaikan pandangan dari sisi penegakkan hukum. Menurutnya, tidak sedikit aparat penegak hukum (APH) yang kebingungan dalam mengambil langkah pidana kepada para pejabat BUMN.
"Muncul pertanyaan yang juga dalam beberapa kesempatan APH sempat berdiskusi secara informal bersama saya. 'Kira-kira ini bagaimana Pak Gede dengan Pasal 4 ini' apakah kerugian keuangan BUMN dapat dipertanggungjawabkan secara pidana?' Kekalutan ini menurut saya ada benarnya dari teman-teman APH karena tampaknya norma yang kemudian muncul di Undang-Undang BUMN 2025," ujar dia.
Menurutnya, kebingungan itu muncul karena adanya perbedaan dari yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Dalam hal ini, muncul perdebatan bahwa kerugian BUMN bisa dipertanggungjawabkan secara pidana dan ada juga yang berpandangan tidak.
Simak juga Video Pemerintah Buka Peluang Lebur Kementerian BUMN ke Danantara