Gaji Cuma Numpang Lewat, Kelas Menengah RI Dihajar Utang, Inflasi, dan Pajak

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Senin, 06 Okt 2025 13:03 WIB
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/Thai Liang Lim
Jakarta -

Kelompok kelas menengah di Indonesia terengah-engah menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat. Gaji yang mereka terima seketika habis hanya untuk membayar utang dan cicilan.

Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menjelaskan kondisi ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Mulai dari faktor kondisi ekonomi nasional, regulasi perpajakan, hingga gaya hidup masyarakat itu sendiri.

Dari faktor kondisi ekonomi, Tauhid mengatakan saat ini inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara nasional per September 2025 sudah naik di atas 2%. Di mana menurut data BPS secara year-on-year inflasi nasional bulan kemarin sebesar 2,65% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,74.

Sayang, kenaikan inflasi ini tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Artinya harga barang dan jasa merangkak makin mahal, sementara pendapatan masih 'jalan di tempat'.

"Pertama, kalau kita lihat inflasi mulai naik lagi ya, mendekatkan di atas 2%. Nah, inflasi yang terjadi ini tidak diimbangi dengan kenaikan gaji dan pendapatan mereka. Saya kira ini fenomenanya itu penyebab pertama," kata Tauhid kepada detikcom, Senin (6/10/2025).

Kemudian secara regulasi, menurut Tauhid kehidupan kelas menengah saat ini sangat terbebani oleh pajak seperti PPN (pajak penambahan nilai). Hal ini dinilai membuat harga barang/jasa yang sudah naik imbas inflasi akan semakin mahal. Sehingga biaya hidup semakin tinggi.

"PPN naik, kemudian beberapa kenaikan di komponen biaya hidup juga naik, terutama di transportasi dan komunikasi. Pajak, transportasi dan komunikasi ini sudah mulai bergerak naik lah," ucapnya.

"Kalau pajak kan jelas, tapi kalau transportasi dan komunikasi ini kan nggak sengaja. Biaya telekomunikasi itu makan komponen besar tuh, orang internet dan sebagainya. Termasuk transportasi, ojol dan sebagainya itu makan banget tuh kelas menengah," sambung Tauhid.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia tahun ini tahun ini sebanyak 46,85 juta jiwa. Foto: Pradita Utama

Terakhir ada faktor dari kelas menengah sendiri yang kini dinilai semakin konsumtif. Di mana menurutnya tak sedikit orang yang kini banyak membeli barang atau jasa yang sebetulnya tidak terlalu mereka butuhkan.

Padahal besaran gaji masih pas-pasan, membuat mereka mau tak mau mengambil pinjaman. Hal inilah yang membuat cicilan bulanan mereka semakin besar. Akibatnya gaji yang diterima hanya habis untuk bayar utang, dan sisanya hanya cukup untuk konsumsi makanan.

"Memang sekarang kelas menengah di tengah digitalisasi, itu budaya konsumsinya semakin tinggi juga begitu ya. Misalnya dengan digitalisasi mereka gampang mengakses pembiayaan, belanja, dan sebagainya dengan digital. Sehingga budaya konsumstifnya akhirnya lebih tinggi dibandingkan sebelum-sebelumnya," papar Tauhid.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan salah satu faktor utama yang membuat kelompok kelas menengah kian terimpit utang adalah sulitnya mencari pekerjaan layak. Kondisi ini membuat pendapatan mereka jadi sangat terbatas, bahkan cenderung kurang yang kemudian mendorong mereka untuk ajukan pinjaman.

"Kelas menengah tertekan sulitnya mencari pekerjaan yang stabil, dan upah layak. Pekerjaan ada tapi sebagian besar informal, basisnya kontrak tidak pasti," jelas Bhima.

Kemudian sama seperti Tauhid, dirinya juga turut menyoroti gaya hidup kelas menengah yang kerap kali tidak sesuai dengan besaran gaji atau pendapatan yang dimilikinya. Pada akhirnya membuat mereka rela berutang hanya karena keinginan sesaat.

"Sebagian terjebak pada gaya hidup yang tidak sesuai kemampuan, FOMO lihat iklan sosial media lalu beli barang via paylater," ucapnya.

Lihat juga Video: Cara Sederhana Biar Gaji Tidak Habis di Tengah Jalan




(igo/fdl)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork