Ini Ucapan Jokowi yang Bikin Kepala Daerah Malu

Ini Ucapan Jokowi yang Bikin Kepala Daerah Malu

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 07 Nov 2025 06:00 WIB
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto/Foto: Shafira Cendra Arini/detikcom
Jakarta -

Karakteristik kota-kota di Indonesia sempat mendapat perhatian dari Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, Jokowi saat masih menjabat pernah menyampaikan pandangan yang membuat para wali kota merasa malu.

Pengalaman itu dirasakan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto saat dirinya masih menjabat sebagai Wali Kota Bogor. Ia tersentil dengan pernyataan Jokowi saat berkunjung ke Kota Bogor.

Menurut Bima, kala itu Jokowi menyinggung tentang kondisi kota-kota di Indonesia yang tidak memiliki karakter. Sebab, baik dari sisi tagline maupun tata kota, kota-kota di Indonesia nampak serupa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di ujung masa Pak Jokowi, beliau pernah mengeluarkan satu statement yang membuat malu kepala daerah. Katanya gini, 'saya nggak abis pikir seluruh kota di Indonesia tagline-nya sama. Semua pakai ber, beriman, berhiber, ber ber ber, semuanya ber. Tidak ada karakter yang keluar di sana'," kata Bima di acara Sarasehan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional 2025 di Hotel Sheraton Gandaria, Jakarta Selatan, Kamis (6/11/2025).

ADVERTISEMENT

Sedangkan dari sisi tata kota sendiri, kota-kota di Indonesia seolah memiliki Standard Operating Prosedur (SOP) yang sama. Beberapa hal yang disoroti Jokowi yakni mulai dari banyaknya angkutan kota (angkot) hingga Pedagang Kaki Lima (PKL).

"Kemudian kota-kota itu lautan ruko, lautan angkot, lautan PKL, begitu. Disambut dengan suasana ambience yang sama, karena itu kata presiden, perlu visi terobosan, mulai dari perencanaan, sampai kemudian eksekusi, sehingga kota-kota itu keluar karakternya," ujarnya.

Menurut Bima, penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang sesuai menjadi salah satu kunci untuk memperkuat karakter tiap-tiap daerah. Dengan demikian, kawasan perkotaan di Indonesia tidak terbentuk seperti mengacu pada satu prototipe.

Selaras dengan hal itu, ia menilai perlu adanya perubahan paradigma dari para kepala daerah. Dalam hal ini, RDTR tidak hanya dianggap sebagai zonasi untuk mengatur penempatan atau merencanakan pembangunan.

"Tetapi lebih dari itu, kita berharap RDTR ini bisa menjadikan kota bertransformasi dari sekedar kota yang sama prototipenya, menjadi kota yang kita mimpikan, kota yang berkelanjutan, kota hijau, dan kota inklusif, serta ekonominya tumbuh," kata dia.

Di sisi lain, Bima menyadari bahwa langkah tersebut tidaklah mudah. Salah satu persoalan yang muncul, sering kali ada dikotomi antara preservasi dan juga pembangunan. Menurutnya, hal ini bisa diatasi dengan pendekatan yang menggabungkan kedua hal tersebut saat proses perencanaan.

Ia juga menyarankan agar dalam perencanaan, pemda setempat bisa menonjolkan keunikan dari daerahnya masing-masing dalam rangka memperkuat karakter lokal. Hal ini menjadi bagian dari langkah membangun branding kota tersebut.

"Ada kota yang kental heritage-nya, kolonialnya, ada kota yang kental Chinese-nya seperti Singkawang, dan ada kota yang nuansa adatnya, fasadnya semuanya bisa diangkat sehingga menjadi pembeda dan menjadi komersil," ujar Bima.

"Tidak mudah untuk menyulap, men-transformasi lautan rokok, lautan angkot, lautan PKL menjadi nuansa lokal yang betul-betul kuat. Bali adalah contoh paling sempurna ketika desain itu terlihat dan terasa di seluruh ambience kota. Kuncinya adalah para kepala pemda bersama dengan teman-teman perencana, warga, tokoh adat, tokoh masyarakat, itu duduk bersama," sambungnya.

Tonton juga video "Harapan Jokowi soal Suksesi Keraton Solo"

(shc/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads