Pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kini semakin memanfaatkan data e-commerce untuk merancang strategi bisnis agar tetap tumbuh di tengah percepatan digitalisasi perdagangan. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat, dari sekitar 3,81 juta UMKM yang sudah memanfaatkan e-commerce, baru 17,8% yang benar-benar memiliki akun penjualan di marketplace atau platform digital.
Di sisi lain, Peneliti Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhila Maulida, mengungkapkan dalam lima tahun terakhir UMKM semakin matang dalam memanfaatkan data penjualan, trafik, dan perilaku konsumen yang disediakan platform e-commerce.
"Data penjualan, trafik, hingga perilaku konsumen tersedia. Itu yang harus diolah dan dimaksimalkan untuk menjadi strategi bisnis. Bukan lagi pakai intuisi," ujar Fadhila, Jumat (5/12/2025).
Menurut Fadhila, pertumbuhan jumlah UMKM yang masuk ekosistem digital berjalan beriringan dengan pendewasaan platform perdagangan. Berakhirnya era subsidi, munculnya biaya layanan platform, hingga pola promosi seperti iklan berbayar dan kampanye tanggal kembar, sudah menjadi dunia baru di era perdagangan daring.
Karena itu, literasi dan edukasi menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, platform, maupun pelaku usaha itu sendiri. Tujuannya, memastikan keberlanjutan bisnis digital sekaligus menjaga agar UMKM dapat tumbuh sehat dalam ekosistem yang kompetitif.
"UMKM perlu menghitung struktur biaya secara detail, mulai dari platform fee, biaya keanggotaan promosi, ongkos kampanye tanggal kembar, biaya iklan, dan lainnya. Semua harus diperhitungkan layaknya komponen modal usaha," kata Fadhila.
Survei Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan sebagian besar penjual kini memandang biaya di platform e-commerce sebagai bagian dari strategi bisnis. Skor persepsi mengenai biaya sebagai komponen strategis mencapai 8,39 (skala 1-10). Artinya, pemilik brand dan pelaku usaha semakin sadar bahwa biaya platform bukan sekadar ongkos tambahan, melainkan elemen penting dalam perencanaan usaha.
Temuan lain memperlihatkan biaya admin dipandang sebagai investasi dengan skor 8,45, karena diyakini berkontribusi pada peningkatan penjualan dan eksposur produk. Responden yang memiliki kanal penjualan ganda; toko fisik dan toko online, menilai penjualan melalui platform daring lebih efektif. Sebanyak 78% seller mengakui performa e-commerce lebih baik, sementara hanya 22% menilai toko fisik lebih unggul. Survei ini dilakukan pada 19 September-9 Oktober 2025 terhadap 602 responden.
Di sisi lain, admin fee menjadi komponen biaya yang paling dikenali penjual (41,5%), diikuti payment fee (34,2%) dan subsidi ongkir (29,1%), yang kerap muncul dalam laporan transaksi mereka. Mayoritas seller tidak hanya memahami struktur biaya tersebut, tetapi juga menganggapnya sebagai strategi pertumbuhan.
"Temuan ini menunjukkan bahwa strategi harga dan promosi masih menjadi pendekatan utama seller dalam menarik pembeli dan meningkatkan volume penjualan," kata Direktur Eksekutif Katadata Insight Center, Fakhridho Susilo.
Meski demikian, INDEF menyoroti literasi digital e-commerce masih menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi seller berumur 30 tahun ke atas untuk memahami kinerja usaha via online/digital.
Riset KIC menunjukkan sebagian besar seller sudah memahami biaya platform sebagai strategi bisnis, namun sekitar 31,7% responden masih kesulitan mengatur biaya platform dan mengikuti program promo atau kampanye. Sisanya merasa cukup nyaman dengan ritme dan mekanisme biaya yang berlaku.
Simak Video "Video idEA ke Pemerintah: Tolong Perhatikan, E-Commerce Masih Penuh Tekanan"
(prf/ega)