Soal Pengembangan CDM, RI Kalah Jauh dari Malaysia
Selasa, 23 Okt 2007 12:51 WIB
Jakarta - Pengembangan Clean development Mechanism (CDM) di Indonesia masih kalah jauh dibanding Malaysia. Padahal potensi CDM di Indonesia jauh lebih banyak ketimbang Malaysia. Jika di Malaysia ada sekitar 90 proyek CDM, di Indonesia hanya 10 persennya, yaitu 9 proyek. Menurut Staff Ahli Kementerian Lingkungan Hidup Liana Bratasida, masih kurangnya pengembangan CDMdi Indonesia dikarenakan kurangnya informasi dan dukungan perbankan. "Beda dengan India, yang pengembangan di sana sudah maju. Karena dukungan lembaga keuangan nasional, jadi mereka bisa atur harga pasar. Apalagi demand-nya juga tinggi," katanya disela-sela acara CDM in Petroleum Industry di Ritz Carlton, Jakarta, Senin (23/10/2007). Salah satu perusahaan yang sudah mengembangkan CDM adalah Medco Energi. Development Director Medco Energi Rashid Mangunkusumo menjelaskan, saat ini pihaknya punya dua proyek CDM. Satu proyek menggunakan teknologi carbon captured storage (CCS) di Rimau, Sumatera Selatan. Dan lainnya adalah pengembangan pembangkit listrik dengan bahan etanol. "Kita harapkan, kalau dua proyek itu diakui, maka bisa kita jual carbon creditnya," katanya. Pengembangan CDM memang tergolong mahal. Terutama di Indonesia yang belum ada fasilitas pendukung. Kepala Pusat Lemigas Hadi Purnomo memperkirakan, dana yang dibutuhkan untuk pengembangan CDM dengan teknologi CCS di Indonesia mencapai US$ 500 juta-1 miliar. "Mungkin sekitar 500 juta sampai 1 miliar dolar. Yang pasti memang mahal," ujarnya. Ia mengakui, dengan CCS bisa membantu meningkatkan produksi baik minyak, gas, ataupun CBM dibanding dewatering (pengurasan air). "Secara ekonomis, untuk CBM kenaikan produksinya bisa 10%-20%, untuk minyak sama sekitar itu. Sedangkan kalau gas bisa lebih besar, 20%-30%," katanya.
(lih/qom)