Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida menilai, aturan batasan minimal saham IPO ini punya dua sisi dampak yang berseberangan. Namun, keduanya perlu diperhatikan secara matang. Maka dari itu, sampai saat ini peraturan tersebut belum kunjung usai.
“Belum dibahas. Belum diputuskan karena yang minimum untuk free float itu kan ada plus minusnya ya misalkan gini, kalau dikatakan minimal katakan cukup tinggi, itu bisa berdampak pada berkurangnya jumlah calon emiten karena mereka berpikir ah ini terlalu besar, mungkin tidak sesuai dengan pendanaan yang dibutuhkan mereka,” katanya seperti dikutip Senin (20/1/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Batas minimum free float akan memberatkan emiten terhadap jumlah saham yang akan dikeluarkan yang akan berdampak pada nilai emisinya, mereka mungkin kebutuhannya nggak begitu banyak, katakan seandainya, batasan minimal 30% tapi emiten yang ingin mengeluarkan hanya 20% jadi kan mereka jadi tidak bisa melakukan penawaran umum,” jelasnya.
Untuk itu, lanjut Nurhaida, pihaknya masih perlu meminta masukan dari para pelaku pasar modal untuk menentukan batasan minimum saham IPO ini.
“Sekali lagi setiap ketentuan yang akan dikeluarkan oleh OJK kita pasti meminta masukan kepada masyarakat dari pelaku industri paling tidak. Biar nanti kita selesaikan dulu ya,” tegasnya.
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengaku tengah menyelesaikan aturan baru bursa soal peraturan pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas selain saham. Aturan tersebut masuk dalam peraturan 1A BEI.
Dalam aturan tersebut akan disebutkan batasan minimum saham yang dilepas ke publik dalam Initial Public Offering (IPO) dan batasan minimum saham yang beredar bagi perusahaan yang sudah mencatatkan sahamnya di BEI.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI Hoesen mengaku, saat ini pihaknya tengah merampungkan aturan tersebut agar bisa selesai akhir bulan ini.
"Akhir bulan ini target aturan selesai. Kita sampaikan ke direksi dan komisaris dulu, akhir bulan ini akan keluar peraturannya. Begitu dikeluarkan aturannya langsung implementasi," ujar Hoesen beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, tujuan otoritas mengatur jumlah minimum saham perdana dan saham yang beredar adalah untuk meningkatkan likuiditas di pasar modal. Pasalnya, masih banyak perusahaan yang sudah mencatatkan sahamnya di bursa, jumlah saham yang beredar masih sedikit. Hal ini menjadi salah satu penyebab saham tidak likuid.
"Ini berhubungan dengan saham yang beredar, kalau sedikit jangan harap likuid. Salah satu agar likuid kan menambah saham beredar," terangnya.
Di kesempatan berbeda, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan untuk melakukan peningkatan batasan minimum saham yang dilepas ke publik atau Initial Public Offering (IPO) sebesar 30%.
Kepala Eksekutif Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan, peningkatan batasan minimum saham yang dilepas ke publik perlu dilakukan agar membantu likuiditas di pasar modal.
Saat ini, kata Nurhaida, rata-rata perusahaan melepas saham IPO sebesar 20%. Ke depannya, OJK juga akan mengatur untuk menaikkan besaran saham IPO yang dilepas sebesar 30%.
"Sekarang kan rata-rata 20%, itu ada beberapa masukan tapi kita kaji dulu mungkin bisa ke 30%," ujar dia beberapa waktu lalu.
(drk/ang)