Bahkan rasio pembiayaan KPR terhadap PDB di Indonesia baru 2,8%. Angka ini masih sangat jauh tertinggal dari negara lain seperti Malaysia, Thailand, Singapura hingga Mongolia yang berkisar 30-40%.
Untuk itu, diperlukan alternatif sumber pendanaan atau pembiayaan sekunder perumahan yang bisa memfasilitasi pembiayaan KPR di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sarana Multigriya Finansial (SMF) ditugaskan membangun dan mengembangkan pasar pembiayaan sekunder perumahan tersebut melalui sekuritisasi dan pembiayaan.
SMF berperan sebagai intermediator bagi bank-bank Penyalur KPR yang berkeinginan memanfaatkan dana dari pasar modal sehingga jumlah Penyalur KPR yang berpartisipasi dapat bertambah.
Sayangnya, sampai saat ini masih belum banyak bank yang berani berinvestasi pada efek yang diterbitkan oleh SMF baik berupa surat utang korporasi atau EBA-SP.
Untuk itu, SMF menyelenggarakan Asia Fixed Income Summit (AFIS) yang bertujuan mempersiapkan Indonesia menjadi target investasi bagi para investor di pasar modal dan memperkuat peran perusahaan pembiayaan sekunder perumahan melalui kegiatan pembiayaan dan pendanaan di pasar modal.
Peserta yang hadir terdiri dari stakeholders dan regulator di pasar modal, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serta investor seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, dan perusahaan aset management.
"Jumlah dana yang dibutuhkan untuk mendanai kepemilikan rumah, terutama di Indonesia terus bertambah. Kami sadar bahwa potensi ini perlu dimanfaatkan. Jadi ke depan, kami menyiapkan berbagai strategi untuk mendukung pemenuhan dana yang dibutuhkan untuk pembiayaan perumahan, terutama dana menengah atau jangka panjang, misalnya melalui penguatan di garis produk investasi yang memenuhi permintaan pasar," kata Direktur Utama SMF, Ananta Wiyogo, dalam sambutannya di Asian Fixed Income Summit di Sofitel Bali Nusa Dua Beach Ressort, Bali, Kamis (7/9/2017).
Hadir sebagai pembicara kunci adalah Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia, Mardiasmo, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Lana Winayanti, dan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Nurhaida.
Nurhaida mengatakan, dalam lima tahun terakhir pasar obligasi di negara-negara asia rata-rata tumbuh dan berkembang dengan yield yang tipis. Sementara pasar fixed income atau surat utang Indonesia masih tumbuh dengan yield yang lebih tinggi sehingga tentunya akan lebih menarik bagi investor.
Untuk itu, potensi pembiayaan perumahan di Indonesia dirasa masih sangat besar untuk diterbitkannya EBA KPR (Efek Beragun Aset Kredit Pemilkan Rumah). Sehingga diharapkan investor tertarik berinvestasi pada efek yang diterbitkan oleh PT. SMF baik berupa Surat Utang Korporasi maupun EBA-SP.
"Di kawasan, kita lihat di antara negara ASEAN pun, Indonesia masih lebih rendah. Bahkan dibanding Thailand dan Mongolia, market kita masih di bawah mereka. Jadi kita perlu ada terobosan sepertinya, apa itu terobosannya sehingga ini bisa berkembang," tutur dia.
"Kalau market EBA-SP ini misalnya berkembang, kan dampaknya bisa lebih luas. Karena nanti bisa lebih banyak perumahan yang disediakan yang affordable bagi MBR. Itu membuat kesejahteraan masyarakat dan kondisi kita lebih membaik karena rumah yang lebih baik pasti akan membuat masyarakat lebih produktif," tukasnya. (eds/ang)