Dolar AS Tembus Rp 15.000, Jokowi Effect Nggak Ngefek

4 Tahun Jokowi-JK

Dolar AS Tembus Rp 15.000, Jokowi Effect Nggak Ngefek

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Sabtu, 20 Okt 2018 08:47 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2014. Berbagai gejolak ekonomi silih berganti mulai dari masalah inflasi, angka kemiskinan hingga yang terkini nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kian perkasa terhadap rupiah.

Soal tekanan terhadap rupiah bisa dilihat pada data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat (19/10) dolar AS tercatat Rp 15.221, sedangkan data Reuters tercatat RP 15.174. Bank Indonesia menyebut angka ini masih berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. Ini artinya sepanjang 4 tahun kepemimpinan Jokowi-JK nilai rupiah terhadap dolar AS sudah tertekan 20,58%.


Sementara jika menengok ke belakang, nilai dolar AS pada 20 Oktober 2014 berada di kisaran Rp 12.045-Rp 12.050, mengutip data Reuters. Saat itu pelaku pasar merespons positif sentimen politik yang tensinya mulai mereda. Selain rupiah, indeks harga saham gabungan (IHSG) juga sumringah menyambut kehadiran Jokowi-JK sebagai pemimpin Indonesia saat itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memasuki awal 2015 nilai dolar AS mulai bergerak dan masuk ke posisi Rp 12.385. Memang pada awal 2015 dolar AS terus menekan rupiah, pada Februari 2015 dolar AS tercatat Rp 12.600. Lalu periode 11 Maret 2015 dolar AS menyentuh Rp 13.135 dengan harga pembukaan Rp 13.120 dan ditutup pada level Rp 13.191.

Dolar AS sempat menguat tipis dan kembali ke posisi Rp 12.900an. Terlihat dari data April 2015 dolar berada di posisi Rp 12.950. Namun setelah itu terjadi penguatan dolar AS dan rupiah semakin tertekan hingga posisi tertinggi sebesar Rp 14.620 yakni pada 1 Oktober 2015.


Padahal sebelum dilantiknya Jokowi sebagai Presiden, kalangan analis memprediksi nilai tukar rupiah akan menguat karena Jokowi Effect, namun kondisi global disebut sangat dinamis dan akan mempengaruhi nilai mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada pertengahan Oktober keganasan dolar AS mulai mereda, rupiah berangsur membaik. Dari dolar AS di kisaran Rp 14.620, menguat ke level Rp 13.625.

Kemudian pada 29 September 2016, dolar AS kembali menguat berada di posisi Rp 12.935, namun tak lama dolar AS kembali ke angka Rp 13.000.
Hingga awal 2018 dolar AS sudah berada di posisi Rp 13.568. Kemudian pada 10 Mei 2018 dolar AS akhirnya menyentuh angka Rp 14.080. Dolar AS makin perkasa posisi Rp 14.150 pada 22 Mei 2018.


Pada Juli 2018, saat wawancara dengan detik.com, Jokowi menyampaikan jika pelemahan nilai tukar adalah persoalan semua negara. Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara lain. "Kita masih dalam posisi yang baik, kalau kita (Indonesia) sendiri melemah tapi yang lain kuat nah itu baru," ujarnya.

Jokowi memastikan pemerintah, BI dan OJK tetap berkoordinasi untuk menjaga kestabilan nilai tukar. Yang jelas, meski sempat melemah di posisi Rp 13.880, perlahan dolar AS terus naik mencapai level Rp 14.250 dan akhirnya tembus Rp 15.045 pada 3 Oktober 2018.


Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, memang masalah dari pencapaian janji Jokowi adalah nilai tukar rupiah yang pada 2014 dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) sebesar Rp 12.000 per dolar AS pada 2019, realisasinya saat ini menyentuh Rp 15.200.

Selain itu faktor eksternal seperti perang dagang, kenaikan suku bunga The Federal Reserve dan instabilitas geopolitik masih membayangi pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS. "Tapi secara fundamental memang ada hal yang harus jadi evaluasi," ujar Bhima. (kil/hns)

Hide Ads