-
China tengah mendorong penggunaan mata uangnya, Renminbi (Yuan), untuk transaksi dagang internasional termasuk dengan Indonesia. Lantas apakah mata China ini bakal menggeser dominasi dolar Amerika Serikat (AS) di pasar internasional?
Pemerintah sendiri pun membuka peluang untuk meningkatkan porsi utang dalam mata uang Renminbi. Mata uang tersebut memang punya kelebihan dibandingkan dengan yang lainnya. Tapi di sisi lain ada catatan yang harus diperhatikan.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal mengatakan, dalam waktu dekat Renminbi belum akan mampu menggeser Dolar AS sebagai raja mata uang internasional.
"Saya tidak lihat dalam jangka pendek dolar akan tergantikan karena dolar masih raja, karena sebagian besar internasional trading itu dalam US$," kata dia pada diskusi membahas perkembangan Renminbi dalam perdagangan internasional di Energy Building, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Dia menjelaskan, saat ini perdagangan yang dilakukan oleh China sendiri belum sepenuhnya menggunakan mata uang negaranya. Sebagai bisnis masih menggunakan Dolar AS.
Di Indonesia sendiri, menurut dia upaya mendorong perdagangan menggunakan Renminbi terlihat dari makin banyaknya bank asal China yang berdiri di Indonesia.
Dia menambahkan, kerja sama Indonesia dan China pun kelihatannya akan semakin meningkat dengan adanya program Belt and Road Initiative. Itu nantinya berpeluang meningkatkan penggunaan Renminbi.
"Kalau misalnya Indonesia lebih aktif bekerja sama dalam konteks Belt and Road Initiative, tentu akan lebih banyak proyek-proyek yang akan menggunakan Renminbi," tambahnya.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Loto Srinaita Ginting memaparkan, utang dalam bentuk renminbi masih di bawah 1%, yaitu 0,12% (2014), 0,10% (2015), 0,07% (2016), 0,06% (2017), 0,05% (2018), 0,04% (Juni 2019).
Dia menjelaskan, pihaknya akan melihat keuntungan utang Renminbi dibandingkan mata uang lainnya. Ada beberapa pertimbangan yang dilihat, yaitu dari sisi portofolio maupun cost efisiensinya.
"Kita kan punya instrumen dolar AS, euro, sama yen ya. Kita bisa hitung nanti kira-kira dia itu masih kompetitif nggak dibandingkan ini (Renminbi). Kalau dia kompetitif sebenarnya ada ruang untuk kita bisa gunakan," kata dia di Energy Building, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Pertimbangan lainnya adalah kapasitas pasar Renminbi. Menurutnya harus dilihat apakah itu bisa sustainable, atau dengan kata lain suplainya selalu tersedia.
"Kalau memang arah ke depannya kapasitas pasarnya sustain, ke depannya selalu ada, dan size-nya makin bisa besar, itu juga bisa jadi pertimbangan kami," jelasnya.
Di sisi lain, pemerintah juga mempertimbangkan apakah utang ini bisa disalurkan dalam bentuk rupiah. Jika itu bisa, tidak menutup kemungkinan itu yang akan dipilih pemerintah. Menurutnya banyak faktor yang harus dieksplorasi untuk mempelajari hal tersebut.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal mengatakan, bila dilihat, nilai mata uang Dolar AS lebih fluktuatif alias mudah naik-turun terhadap mata uang negara lain. Sementara Renminbi dianggap lebih stabil.
"Kalau dari segi volatilitas ya, Renminbi lebih stabil dibandingkan dolar. Jadi dari segi cost transaksinya memang lebih aman walaupun tentu tidak terjamin aman total ya," kata dia pada diskusi membahas perkembangan Renminbi dalam perdagangan internasional di Energy Building, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Selain itu, menurut dia China merupakan salah satu negara dengan kecukupan modal paling besar di dunia. Indonesia yang membutuhkan modal asing tentunya bisa memanfaatkan peluang tersebut. Dengan membuka pintu lebih luas terhadap mata uang tersebut, aliran modal ke Indonesia akan meningkat.
"Jadi makanya kita juga harus bisa cerdik dan cerdas memanfaatkan modal-modal dari luar yang kebetulan sekarang memang nggak banyak berkeliaran, sumbernya masih terbatas," jelasnya.
Namun yang perlu jadi catatan, jangan sampai aliran modal dari China ini membuat Indonesia didikte dalam hubungan kerja sama. China, lanjut dia harus tetap mengikuti aturan main yang ditentukan oleh Indonesia.
Menurutnya itu hal terpenting yang perlu digarisbawahi, sehingga aturan mainnya harus menguntungkan dan sesuai dengan kepentingan Indonesia, dan untuk jangka pendek menguntungkan kedua belah pihak.