Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Luhut Binsar Pandjaitan yakin nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) bisa kembali ke level Rp 10.000. Caranya dengan menggenjot ekspor dan menekan impor.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menilai bahwa hal itu tak mustahil. Lana kilas balik pada dolar AS di 1999.
Saat Presiden ke-3 RI, mendiang B.J. Habibie menjabat nilai tukar rupiah menjadi Rp 10.000. Lana bercerita bahwa pada pemerintahan Habibie nilai tukar rupiah dari Rp 16.000 bisa ditekan jauh ke bawah Rp 10.000.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingat waktu zaman Almarhum Pak Habibie itu bisa ke Rp 9.000. Padahal waktu itu rupiah Rp 16.000 sejak zaman Pak Soeharto. Jadi bukan sesuatu yang mustahil," kata Lana kepada
detikcom, Selasa (3/12/2019).
Menurutnya, sentimen global berpengaruh besar terhadap pergerakan pasar uang. Di kala Habibie membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi tahun 1998, sentimen global langsung positif dan mengerek nilai tukar rupiah dalam kurun waktu yang pendek, hanya satu tahun.
"Dalam waktu pendek bisa, sentimen sangat berpengaruh. Hanya di tahun 1998 Pak Harto turun, tahun 1999 bisa Rp 9.000 dari Rp 16.000 karena ada ekspektasi positif terhadap ekonomi Indonesia," jelas Lana.
Meski begitu, ia tak bisa memprediksi kapan hal itu bisa jadi kenyataan.
"Jadi berapa lama waktu yang dibutuhkan saya nggak pernah tahu," tutur dia.
Selain sentimen, Lana juga memaparkan bahwa apa yang dikatakan Luhut mengenai penggenjotan ekspor, hilirisasi industri, menekan defisit transaksi berjalan itu harus tetap dilaksanakan. Selain itu, sektor pariwisata untuk menarik turis asing juga harus digenjot.
"Kalau di luar sentimen, teoritis, kita harus membangun tadi, hilirisasi, ekspor dan itu tentu butuh waktu. Minimal 3 tahun kalau hanya bicara supply demand saja. Lalu juga sektor pariwisata yang 10 destinasi itu dalam 3 tahun ini betul-betul sudah jadi. Saya kira sih waktu 3 tahun masih ada kesempatan," paparnya.
Ia mengatakan, jika hal-hal tersebut dilakukan dengan benar, masih ada kesempatan dolar AS takluk ke level Rp 10.000 atau paling tidak di kisaran Rp 12.000.
"Kalau pun nggak persis Rp 10.000 ya di Rp 12.000 itu terbuka. Tapi kalau ada sentimen yang membantu seperti zaman Presiden Habibie bisa saja," pungkas Lana.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan dihubungi terpisah mengatakan pemerintah butuh kerja keras terutama dalam menekan impor migas dan elpiji yang jadi biang kerok defisit neraca perdagangan Indonesia.
"Impor migas kita sampai sejauh ini memang sangat besar karena produksi kita itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi kita. Belum lagi terkait masalah elpiji yang sampai saat ini menyumbang defisit neraca perdagangan terbesar karena kita impor sangat besar. Saya melihat cukup berat, saya cukup pesimistis ya terhadap yang disampaikan Pak Luhut," terang Mamit.
Untuk impor migas sendiri, Mamit menuturkan bahwa hal itu terus dilakukan karena produksi migas dalam negeri tak mencukupi kebutuhan.
"Di mana produksi kita sekitar 700.000 sampai mendekati 800.000 barel per hari. Tapi konsumsi kita sudah 1,3-1,4 juta barel/hari. Jadi memang selisihnya cukup besar. Dengan selisih yang sangat besar ini mau tidak mau kita harus impor minyak, baik itu produk, maupun minyak mentah," imbuh dia.
Selain sektor energi, Mamit menilai kondisi makro ekonomi Indonesia memang sulit untuk mewujudkan hal tersebut.
"Untuk mata uang ini kan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, tapi juga faktor internasional terkait dengan kondisi ekonomi global. Jadi saya kira memang tidak semudah itu dolar bisa menjadi Rp 10.000, belum lagi terkait dengan masalah kondisi perekonomian kita yang masih diprediksi pertumbuhan ekonomi masih di angka 5%," pungkas Mamit.
Simak Video "Video Luhut: Saya Saksi Hidup, Jokowi Tak Langgar Konstitusi Selama Jabat Presiden"
[Gambas:Video 20detik]