Jakarta -
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) tercatat masih berada di level Rp 15.000-an meskipun telah mengalami penguatan dari level Rp 16.000-an.
Bank Indonesia (BI) menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan hal ini masih terjadi. Apa saja itu?
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan dolar AS masih di angka Rp 15.000. Seperti faktor teknikal yang berasal dari risiko volatility index (VIX) yang masih berada di angka 38.
Padahal sebelum pandemi COVID-19 VIX berada di bawah 20. "Tapi posisi 38 ini lebih rendah dari posisi puncak pada Maret lalu yang berada di angka 83. Ke depan kami upayakan untuk mengarahkan ke 18,," kata Perry dalam video conference di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Kemudian credit default swap sebelum COVID-19 tercatat pada angka 60. Kemudian minggu kedua Maret berada di posisi 270 dan saat ini 216.
"Insha Allah akan lebih rendah, kalau premi risikonya rendah akan mendorong rupiah ke tingkat fundamentalnya," imbuh dia.
Menurut Perry BI juga berupaya untuk menjaga pasar dan stabilitas nilai tukar rupiah. Bank sentral akan melakukan intervensi di spot dan non deliverable forward (NDF) serta membeli surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder.
Penyebab selanjutnya adalah arus modal asing yang masuk saat ini masih belum lancar. "Modal asing ini masuk, tapi masih seret kadang masuk kadang keluar. Kalau bid to cover rationya meningkat maka minat membeli SBN akan meningkat," jelas dia.
Perry menjelaskan secara empiris dari data BI pada 2011 sampai sekarang terjadi aliran modal keluar selama 4 bulan rata-rata Rp 29,2 triliun akan selalu diikuti periode inflow 21 bulan dengan jumlah Rp 229,2 triliun. "Insha Allah mulai awal kuartal 3 dan 4 inflow akan makin besar," jelasnya.
Quantitative EasingBank Indonesia (BI) telah mengucurkan Rp 503,8 triliun quantitative easing untuk menjaga likuiditas perekonomian. Selama periode awal tahun hingga April 2020.
Quantitative easing ini adalah salah satu kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral untuk meningkatkan jumlah uang beredar. Jika quantitative easing yang dikeluarkan sudah sebanyak itu, kok belum terlihat di perekonomian nasional?
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan hal ini karena kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah.
"Karena kebijakan moneter bank sentral ini tidak bisa langsung masuk ke sektor riil, tetapi butuh kebijakan atau stimulus fiskal seperti yang sekarang sudah diumumkan pemerintah melalui menteri keuangan," kata Perry dalam video conference di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Dia mengungkapkan, stimulus fiskal seperti jaring pengaman sosial, insentif industri, subsidi kredit usaha rakyat (KUR), kartu pra kerja, program keluarga harapan dan bantuan pangan non tunai (BPNT).
Sehingga menurut Perry, pemerintah perlu mempercepat stimulus fiskal tersebut agar quantitative easing bisa mengalir dari perbankan ke sektor riil. Hal ini agar kegiatan ekonomi bisa dengan cepat bergerak.
Perry menambahkan selain kebijakan fiskal juga dibutuhkan kebijakan restrukturisasi kredit dari bank kepada nasabah. Kebijakan ini diatur oleh regulator keuangan.
"Agar quantitative easing ini efektif ke sektor riil. Dibutuhkan koordinasi yang baik antara pemerintah, BI dan regulator keuangan. Memang pak presiden menyampaikan program pemulihan ekonomi yang dirumuskan agar bisa mengalir dan nendang ke sektor riil," jelasnya.
Quantitative easing yang dilakukan BI antara lain terdiri dari Rp386 triliun yang berasal dari kebijakan BI pada Januari hingga Maret 2020 salah satunya penurunan GWM rupiah 50 basis poin (bps) sedangkan sisanya sejumlah Rp 117,8 triliun melalui kebijakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) 13-14 April salah satunya penurunan GWM sebesar 200 bps.
Perry menambahkan, pasokan likuiditas juga bertambah dari term repo perbankan yaitu underlying yang dimiliki bank untuk digunakan BI. Hal tersebut juga menambah likuiditas Rp137,1 triliun.
Penambahan berikutnya berasal dari penurunan GWM rupiah pada periode Januari dan April yang jika menambah likuiditas Rp53 triliun dan juga melalui swap valas Rp29,7 triliun.
"Apa yang ditambah di awal Mei akan ditambahkan sesuai keputusan RDG lalu seperti yang tadi disampaikan pemangkasan GWM 2% itu bakal tambah Rp102 triliun. Kami juga tidak mewajibkan bank dalam 1 tahun ini untuk tidak penuhi rasio intermediasi pada Mei jadi total setelah RDG April Rp117,8 triliun. Dan total keseluruhan Rp386 triliun ditambah Rp117,8 triliun jumlahnya Rp503,8 triliun," ujarnya.
"Quantitative easing dari Januari hingga April 2020 jumlahnya Rp386 triliun, sumbernya kami beli SBN dari pasar sekunder yang dijual oleh asing, kalau asing jual BI beli dapat SBN dan tambah likuiditas edarkan uang jumlahnya Rp166,2 triliun," kata dia.
Simak Video "Video Ketua MPR soal Rupiah Nyaris Rp 17 Ribu Per USD: Momentum Tingkatkan Ekspor"
[Gambas:Video 20detik]