Bank Sentral Eropa (ECB) tetap mempertahankan suku bunga acuannya sekaligus melanjutkan program stimulus untuk mengantisipasi gejolak ekonomi akibat pandemi.
Meskipun, nilai mata uang Euro saat ini mengalami penguatan hingga lebih dari 5% terhadap dolar AS sejak awal Juli dan diperdagangkan sekitar US$ 1,1846/Euro. Mata uang yang lebih kuat dari dolar AS membuat impor lebih murah, akhirnya mengorbankan para eksportir zona euro dan tentunya juga akan berpengaruh pada inflasi serta pertumbuhan ekonomi.
Dikutip dari CNBC Internasional, Kamis (10/9/2020), inflasi negara-negara zona Euro pada Agustus tercatat cukup mengejutkan dibanding bulan-bulan sebelumnya. Capaian itu adalah yang terendah sejak tahun 2001 lalu. Seharusnya dalam kondisi ini, ECB melakukan banyak perubahan pada kebijakan suku bunga dan program stimulusnya. Namun, dalam kasus ini, ECB justru memilih untuk tidak perubahan pada kebijakan moneternya terlebih dahulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui, pada Juni 2020 lalu, ECB memperkirakan inflasi tahunan akan mencapai 0,3% pada akhir tahun 2020 - jauh di bawah targetnya yang hampir 2%. Diperkirakan inflasi akan naik menjadi 0,8% pada tahun 2021 dan 1,3% pada tahun 2022.
ECB juga meramal PDB bakal terkontraksi sebesar 8,7% pada tahun 2020, diikuti oleh rebound masing-masing sebesar 5,2% dan 3,3% pada tahun 2021 dan 2022.
Tingkat suku bunga ECB saat ini di 0,0% dan tetap akan memberlakukan suku bunga negatif -0,5% pada simpanan bank komersial. Sementara suku bunga 0,25% dipertahankan untuk refinancing bank komersial.
(zlf/zlf)