Hubungan Inggris dengan Uni Eropa (UE) setelah peristiwa British Exit (Brexit) sempat memanas. Sejumlah upaya terus dilakukan agar berbagai kesepakatan yang sebelumnya ada dalam ikatan UE, tetap bisa berlanjut meski Inggris telah 'cerai' dari regional tersebut.
Belakangan ini, negosiator Brexit dari UE dikabarkan memperoleh sinyal baik untuk melanjutkan kesepakatan perdagangan dengan Inggris. Kabar itu pun direspons pasar, hingga menyebabkan poundsterling menguat 0,8% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Terlepas dari kesulitan yang kami hadapi, kesepakatan dapat dicapai jika kedua belah pihak bersedia bekerja secara konstruktif, jika kedua belah pihak bersedia untuk berkompromi, dan jika kami dapat membuat kemajuan dalam beberapa hari ke depan berdasarkan hukum, dan jika kami siap dalam beberapa hari ke depan untuk menyelesaikan masalah yang paling sulit, "kata Ketua Negosiator Uni Eropa Michel Barnier kepada Parlemen Eropa, seperti yang dilansir dari CNBC, Rabu (21/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu menciptakan sentimen positif terhadap pelaku pasar yang menilai kesepakatan dagang Inggris-UE akan tercapai meski sempat tersendat berbulan-bulan.
Namun, sebelumnya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengeluarkan peringatan suram kepada para eksportir agar bersiap untuk tidak ada kesepakatan dengan UE. Seorang juru bicara pemerintah mengatakan, negosiator UE tidak perlu datang ke London pekan ini jika Benua Biru itu tak mengubah cara pendekatannya.
Selain itu, akhir pekan lalu sejumlah pejabat Inggris menyampaikan kekecewaannya ketika pemimpin Eropa meminta Inggris yang melakukan penyesuaian agar kesepakatan tetap berlanjut.
Tetapi, sekarang UE menyatakan siap untuk langsung kembali ke meja perundingan jika pemerintah Inggris bersedia.
"Kami akan berkompromi dengan mencari hal diperlukan di kedua sisi untuk untuk mencapai kesepakatan, dan kami akan melakukannya sampai hari terakhir," kata Barnier kepada anggota parlemen.
"Pintu kami akan selalu terbuka sampai akhir tapi ... kami akan tetap tegas," tambahnya.
Sebagai informasi, Inggris keluar dari anggota UE pada Januari 2020 lalu. Namun, sesuai aturan UE, Inggris baru resmi keluar dari UE di akhir tahun. Sehingga, kedua belah pihak dapat menyusun peraturan perdagangan baru. Tentunya, ketentuan baru tersebut juga akan jauh berbeda dari rezim tarif nol yang berlaku saat ini.
Apabila kesepakatan gagal, maka eksportir akan menghadapi biaya dan hambatan yang lebih tinggi saat menjual barang antara kedua blok tersebut.
Pada Minggu, (18/10) lalu Menteri Kabinet Inggris Michael Gove mengatakan, kemungkinan kurang dari 50% kesepakatan yang baru tercapai. Sementara, di awal Oktober lalu ia memprediksi 66% kesepakatan akan tercapai dengan UE. Adapun beberapa hal yang belum memperoleh kesepakatan adalah perikanan, serta aturan persaingan dan pengawasan masa depan dari kesepakatan potensial mereka.
Selain itu, UE telah mengatakan, mereka tak akan menandatangani kesepakatan perdagangan baru sementara pemerintah Inggris tidak sepenuhnya mematuhi Perjanjian Penarikan, yang mereka tandatangani awal tahun ini, dan yang membuka jalan bagi Inggris keluar dari blok tersebut.
Pemerintah di London mengajukan RUU yang mengesampingkan bagian dari kesepakatan sebelumnya ini dan UE telah menuntut agar undang-undang yang akan datang diperbaiki untuk menghormati kesepakatan mereka sebelumnya.
(dna/dna)