Tim Riset CNBC Indonesia menilai, walaupun sudah terbang tinggi dalam beberapa bulan terakhir, faktanya ada dua saham konstruksi masih belum mampu pulih dari serangan pandemi virus corona yang ditunjukkan dari kinerja harganya secara tahun berjalan.
Masih terkoreksinya saham konstruksi Pelat Merah menunjukkan potensi keuntungan yang bisa didapatkan di saham-saham tersebut masih terbuka apabila levelnya kembali ke level awal tahun.
Apalagi jika mengingat nantinya ketika sudah diuntungkan dari kemunculan Omnibus Law dan SWF, laporan keuangan perseroan akan kembali membaik pasca diserang pandemi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua emiten yang masih terkoreksi secara tahun berjalan adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dengan koreksi masing-masing 2,02% dan 2,26% selama tahun berjalan.
Secara valuasi sendiri apabila menggunakan metode laba bersih dibandingkan dengan harga saham alias PER (price to earnings ratio), valuasi emiten konstruksi pelat merah tergolong mahal pasalnya PER saham-saham konstruksi sudah menyentuh triple digit alias ratusan kali lipat, jauh di atas rata-rata emiten konstruksi dengan PER sebesar 31,6 kali.
Bahkan emiten WSKT masih merugi Rp 2,64 triliun selama tahun 2020 ini sehingga PER-nya tidak dapat dianalisis. Bengkaknya PER saham konstruksi Pelat Merah sebab sektor konstruksi menjadi salah satu sektor yang terdampak parah oleh corona sehingga laba bersihnya anjlok.
Proyek-proyek strategis emiten konstruksi ini sempat macet akibat diberlakukannya PSBB (pembatasan sosial berskala besar) serta proyek-proyek ini cenderung membutuhkan modal kerja di awal yang besar sehingga ketika proyek mangkrak maka biaya modal akan meningkat.
Dengan PER yang jumbo ini sendiri para pelaku pasar bertaruh dengan kehadiran Omnibus Law dan SWF ke depanya sektor konstruksi Pelat Merah akan kembali profitable bahkan diharapkan keuntunganya akan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya karena proyek-proyek strategis nasional akan kembali digenjot.
Sedangkan apabila menggunakan metode valuasi nilai buku dibandingkan dengan harga sahamnya alias metode PBV (price to book value), maka valuasi saham-saham konstruksi pelat merah sejatinya masih murah karena masih berada di bawah rata-rata industri di angka 1,7 kali.
Tercatat menggunakan metode ini maka saham konstruksi Pelat Merah paling murah jatuh kepada PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dengan PBV 0,95 kali sedangkan saham konstruksi yang paling mahal jatuh kepada WSKT meskipun di angka 1,48 kali PBV WSKT masih tergolong murah
(das/fdl)