Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut pasar modal Indonesia telah bangkit dari efek awal pandemi COVID-19. Hal itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah selama ini di sektor keuangan.
"Di pasar modal IHSG indikatornya telah di atas 6.000 beberapa minggu yang lalu. Memang ada koreksi sedikit pada penutupan 5.979 atau terkontraksi 5,09%, tidak terlalu jelek bila dibandingkan negara tetangga," kata Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso dalam acara pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) 2021 yang dilihat virtual, Senin (4/1/2021).
Bangkitnya pasar modal Indonesia tercermin dari meningkatnya transaksi investor sebesar 73% dari tahun sebelumnya, dengan transaksi investor ritel yang meningkat empat kali lipat dan menjadi yang tertinggi di ASEAN. Jumlah investor pasar modal naik 56% dibanding tahun lalu menjadi 3,88 juta investor, didominasi oleh investor domestik milenial mencapai 54,79% dari total investor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wimboh mengatakan antusiasme kalangan korporasi untuk terus menggalang dana melalui penawaran umum ternyata masih terjaga di masa pandemi. Indonesia juga memperoleh pengakuan global sebagai The Best Islamic Capital Market 2020 dan Global Islamic Finance Awards, didukung Roadmap Pasar Modal Syariah 2020-2024.
"Penawaran umum di pasar modal tercatat 53 emiten baru dengan 51 perusahaan tercatat di bursa, merupakan tertinggi di ASEAN dengan nilai penghimpunan dana sebesar Rp 118,7 triliun," ucapnya.
Wimboh berharap ekonomi Indonesia bisa lebih baik di kuartal IV-2020. Terlebih peraturan OJK nomor 11/POJK.03/2020 telah diperpanjang hingga 2022, dinilai cukup membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Terbukti non performing loan (NPL) dapat ditahan hanya 3,18% sepanjang 2020 diikuti dengan likuiditas perbankan yang melimpah.
"Di samping itu, Indonesia ini termasuk negara yang terimbas PDB-nya relatif kecil dibanding negara lain. Di sektor keuangan tidak terkecuali dengan berbagai kebijakan kita bisa menahan NPL kita hanya 3,18% dan likuiditasnya melimpah karena kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif," imbuhnya.
Namun Wimboh mencatat restrukturisasi kredit sepanjang 2020 hanya 18% dari total kredit. Angka tersebut terbilang cukup rendah mengingat besarnya proyeksi pemerintah terhadap restrukturisasi kredit tahun lalu.
"Restructuring credit yang kita perkirakan tinggi hanya 18% dari total kredit dan ini semua kita harapkan segera kembali bangkit, membaik dengan kebijakan yang terus kita bantu implementasinya. Bahkan apabila diperlukan kita lakukan kebijakan pendukung berikutnya," tuturnya.
(ara/ara)