Hal yang sama juga terjadi pada saham milik Bakrie lainnya seperti BRMS dan ENRG yang terdorong oleh kenaikan harga komoditas. BRMS yang memiliki produk tambang metals terdorong oleh kenaikan harga emas, nikel dan zinc. ENRG sebagai penambang migas pun terdorong dari pulihnya harga minyak dan gas.
"Sebenarnya tidak cuma saham Bakrie yang naik. Saham-saham komoditas lain cenderung naik seiring vaksin dan harga harapan membaiknya ekonomi," tambahnya.
Hal serupa disampaikan oleh Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penguatan harga lebih dikarenakan optimisme pasar dengan adanya vaksin yang mulai berjalan di beberapa negara termasuk Indonesia. Kemudian harga komoditas batubara juga dalam tren kenaikan. Jadi pasar berspekulasi ketika ada pemulihan ekonomi," kara Sukarno.
Meski begitu, secara fundamental BUMI sebenarnya masih belum menunjukkan perbaikan, posisi utang masih cukup tinggi. Namun, BUMI masih mampu membayar kewajibannya tersebut. Ini jadi pertimbangan lainnya bagi para investor berani menyerok saham emiten ini.
"Kalau dari segi fundamentalnya belum menunjukkan perbaikan. Kinerjanya turun drastis jadi rugi bersih akibat pendemi. Posisi utangnya juga tinggi. Tapi positifnya BUMI berusaha untuk terus membayar utangnya," terangnya.
Berdasarkan catatan EMTRade, pendapatan BUMI -22% YoY di kuartal III-2020. Pelemahan pendapatan BUMI didorong oleh penurunan penjualan batubara 21,8%.
Penurunan pendapatan membuat BUMI mencatatkan rugi US$ 137 juta, turun 263% YoY di kuartal III-2020. Faktor lain, beban bunga BUMI juga meningkat 30,7% YoY. Di sisi lain, rasio hutang dibanding ekuitas (DER) 7,0 kali, naik dari tahun 2019 sebesar 6,3 kali.
Valuasi BUMI saat ini PBV -1,47 kali akibat keuangan BUMI yang masih mencatatkan kerugian. Secara teknikal, trend saham BUMI sudah mulai naik dan saat ini support BUMI di 85. Risiko volatilitasnya masih sangat tinggi, jadi sebaiknya pemula lebih berhati-hati.
(fdl/fdl)