Indonesia kini mempunyai holding baterai kendaraan yang bernama Indonesia Battery Corporation (IBC). Holding besutan Menteri BUMN Erick Thohir tersebut terdiri dari MIND ID, PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), dan PT Aneka Tambang Tbk.
Peresmian IBC itu ternyata memberikan sentimen positif ke pasar. Pasalnya, setelah IBC berdiri, saham emiten tambang terutama PT Antam Tbk (ANTM) naik 250 poin atau 11,47% ke level Rp 2.430 per lembar saham pada penutupan perdagangan Jumat, (26/3).
Dikutip dari data RTI, Sabtu (27/3/2021), saham ANTM telah diperdagangkan sebanyak 93.037 kali dengan volume perdagangan ANTM mencapai 652,29 juta lot pada perdagangan kemarin, dan menghasilkan nilai transaksi Rp 1,54 triliun. Lalu, kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 58,39 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain ANTM, saham emiten tambang lainnya juga 'ngegas'. Misalnya seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Kemarin, INCO dibuka pada level Rp 4.410, dan naik 320 poin atau 7,34% ke level Rp 4.680 pada penutupan perdagangan.
Saham INCO telah diperdagangkan sebanyak 19.381 kali dengan volume perdagangan 80,07 juta lot, dan menghasilkan nilai transaksi Rp Rp 367,92 miliar. Kapitalisasi pasar saham INCO mencapai Rp 46,5 triliun.
Tak lupa juga dengan saham BUMN tambang lainnya yakni PT Timah Tbk (TINS) juga melambung setelah dibentuknya IBC. Harga saham TINS dibuka pada level Rp 1.690 pada perdagangan kemarin, lalu naik 90 poin atau 5,42% pada penutupan perdagangan ke level Rp 1.750/lembar.
Saham TINS telah diperdagangkan sebanyak 33.325 kali, dengan volume perdagangan 195,78 juta lot, sehingga menghasilkan nilai transaksi Rp 338,04 miliar. Lalu, kapitalisasi pasar TINS mencapai Rp 13.03 triliun.
Saham ANTM cs Diramal Makin Melesat!
CEO Sucor Sekuritas Bernadus Setya Ananda Wijaya mengatakan, harga saham ANTM, INCO, dan TINS punya potensi untuk terus naik. Pasalnya, kehadiran IBC akan memberikan kepastian permintaan untuk nikel, dan juga industri kendaraan listrik akan memberikan kepastian permintaan untuk timah sebagai bahan baku kabel listrik.
"Sebelumnya mereka ini bergantung dari ekspor, di mana di luar negeri itu banyak perusahaan mobil listrik yang membutuhkan pasokan nikel, salah satunya dari Antam dan INCO, dan timah dari TINS," kata Bernardus.
Dalam jangka panjang, harga saham ANTM diprediksi akan tembus di level Rp 3.900, INCO Rp 7.250, dan TINS Rp 2.350 per lembarnya. Namun, angka itu bisa tercapai dengan asumsi harga nikel berada di kisaran normal yakni US$ 18.000/ton.
"Harga nikel kalau kembali bullish dan kembali ke US$ 18.000-an, ketiga emiten ini berpotensi banget melaju signifikan dan bertahan di angka yang lebih tinggi dari sekarang," tutur Bernardus.
Tak hanya itu, prediksi harga tersebut juga bisa tercapai apabila nikel tetap digunakan sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik. Dalam hal ini, mengacu pada wacana Tesla yang ingin menggunakan baja sebagai bahan utama baterai.
"Dan yang ketiga asumsinya adalah kapasitas produksi atau demand dari nikel dan timah bisa meningkat kurang lebih 25% dibandingkan tahun 2020 untuk ketiga emiten ini minimal," papar dia.
Oleh sebab itu, menurutnya saat ini adalah waktunya investor membeli saham ANTM, Vale, dan Timah. "Ini potensinya masih cukup bagus untuk melakukan pembelian," ungkap Bernardus.
Butuh Berapa Lama Harga Saham ANTM cs melesat lagi?
Dihubungi secara terpisah, Senior Vice President Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial juga memprediksi harga ketiga emiten tambang tersebut akan terus naik dalam jangka panjang.
Janson mengatakan, kenaikan jangka panjang nantinya terutama disebabkan oleh super siklus komoditas 10 tahun yang akan terjadi karena maraknya permintaan energi baru dan terbarukan (EBT).
"Permintaan renewable energy akan datang dari nikel, silver, kobalt, dan tembaga untuk kendaraan listrik, electric storage system, dan solar panel. Setiap tahun market untuk permintaan tersebut sekitar US$ 1 triliun. Ini katalis positif untuk saham ANTM dan INCO," kata Janson.
Dengan perubahan itu, lalu diperkuat lagi dengan adanya IBC, maka harga saham emiten-emiten tersebut diprediksi kuat terus naik.
"Permintaan kendaraan listrik masih explosive jadi pertumbuhannya exponensial dan diekspektasikan return on equity (RoE) INCO dan ANTM akan double digit, mendekati 15-18% yang artinya profit margin juga tebal," jelas Janson.
Khususnya untuk TINS, menurut Janson akan terkerek dengan potensi hadirnya industri semikonduktor di Indonesia.
"Kalau TIN tertolong oleh industri semikonduktor yang sedang mengalami kekurangan chips untuk otomotif karena saking tingginya permintaan chips seiring dengan tingginya permintaan barang-barang elektronik pasca COVID-19. Jadi RoE TINS juga diekspektasikan akan double digit," terang Janson.
Namun, ia menegaskan kenaikan harga saham ketiga emiten yang lebih tinggi kemungkinan besar baru terjadi dalam jangka panjang, yakni 12 bulan sampai 16 bulan mendatang.
"ANTM masih jauh di 4.000, INCO juga masih jauh di 8.000, Tapi TINS di 2.700," pungkas Janson.