Setelah Taliban menguasai Afghanistan, Amerika Serikat (AS) telah menyelesaikan penarikan pasukan dan evakuasi warga sipil dari Afghanistan pada Senin (30/8) malam. Dikabarkan, hal ini membuat warga Afghanistan krisis uang tunai.
Bagaimana tidak, selama dua dekade, pemerintah Afghanistan ditopang dengan bantuan dari berbagai negara termasuk AS. Tanpa bantuan dana US$ 4,2 miliar atau sekitar Rp 60 triliun pada 2019 maka pemerintah Afghanistan hampir tumbang.
Afghanistan dinilai masih sangat bergantung pada dolar AS. Afghanistan tercatat sebagai negara termiskin di dunia yang bergantung pada uang tunai. Menurut laporan Bank Dunia di 2018, hanya 10% dari populasi orang dewasa yang memiliki rekening di bank.
Baca juga: Narkoba di Balik 'APBN' Afganistan Rp 78 T |
Mata uang lokal, afghani ditopang oleh pengiriman massal dolar AS dari luar negeri ke bank sentral Afghanistan. Ajmal Ahmady, mantan Gubernur Bank Sentral negara itu mengatakan, uang tersebut diambil sekitar US$ 9-10 miliar dalam mata uang asing.
Pengiriman terakhir uang tunai ke Afghanistan dijadwalkan tiba pada hari di mana Taliban merebut Kabul. Artinya, negara tersebut sebenarnya kekurangan dolar AS, bahkan sebelum Taliban merebut Kabul, sementara bank sentral telah membatasi penarikan.
Taliban, kata Ahmady, hanya dapat mengakses 0,1-0,2% dari total cadangan internasional Afghanistan. Terlebih sepekan setelah Taliban menguasai Afghanistan, lembaga keuangan iInternasional membekukan miliaran dolar aset Afghanistan.
"Taliban dan pendukung mereka seharusnya sudah memperkirakan hasil ini. Taliban menang secara militer, tetapi sekarang harus memerintah. Ini tidak mudah," kata Ahmady dikutip dari Los Angeles Times, Senin (24/8/2021).
Kondisi ekonomi di Afghanistan tidak stabil, pasar masih dibuka akan tetapi banyak toko kelas atas (pusat perbelanjaan) tutup. Kemudian lembaga keuangan dan toko penukaran uang pun tutup.
Warga Afghanistan tak punya akses mendapatkan dolar AS. Misalnya saja, Western Union menangguhkan layanan sampai pemberitahuan lebih lanjut. MoneyGram, layanan penukaran lain, memutuskan berhenti beroperasi di Afghanistan.
Tahun lalu, pengiriman uang ke Afghanistan mencapai sekitar US$ 788,9 juta atau sekitar Rp 11 triliun, hampir 4% dari produk domestik bruto (PDB) negara itu. Anwar-ul-Haq Ahady, mantan Menteri Keuangan dan Gubernur pusat mengatakan, Afghanistan akan mengalami dampak yang sangat negatif pada ekonomi.
"Alasan utama stabilitas valuta asing adalah karena kami menerima jumlah uang yang konstan dan cukup besar. Sangat penting bagi para pemangku kepentingan di Afghanistan untuk mengenali situasinya," katanya.
(ara/ara)