Sebenarnya Indosat memiliki pilihan untuk menggembangkan usahanya melalui dana murah dengan menjaga retain earnigs dari hasil penjualan aset perusahaan yang bisa diinvestasikan kembali. Bukan malah bagi dividen dan pinjam ke bank atau terbitkan obligasi yang dapat menaikan rasio hutang.
"Dengan dividen tahunan yang ditarik dari retain earnigs, maka DER Indosat akan melesat menjadi 3,6x. Ini jauh di atas rival terberat mereka, XL yang memiliki DER 2,45x. Kinerja kinclong Indosat tahun ini karena penjualan tower. Bukan dari operasional organik. Ketika penjualan tower dihilangkan, laba perseroan masih merah,"ungkap Kuntho.
Strategi mengeluarkan banyak cash disisi operasi perusahaan memang umum dilakukan melalui parent atau pemegang saham utamanya. Selain itu skema
"Tax Evasion atau Tax Engineering" dengan selalu mengkerdilkan emiten, juga lazim dilakukan management untuk menghindari kewajiban ke Negara.
Ini menjadi hal yang sangat tidak baik dan merugikan pemegang saham minoritas/publik serta negara sebagai penerima manfaat pajaknya. Untuk hal ini SRO serta Kemenkeu harus bisa melihat dan me-labeling perusahaan yang melakukan rekayasa pendapatan/rekayasa perpajakan sebagai "bad ethics management company"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Laporan keuangan operator telekomunikasi yang terus merugi patut diduga lakukan Tax Evasion atau Tax Engineering. Kemenkeu melalui Ditjen Pajak dan SRO (self regulatory organization) atau regulator pasar modal harus jeli melihat modus Tax Evasion atau Tax Engineering ini," ungkap Kuntho.
Dengan kondisi keuangan yang berat, Kuntho melihat rencana merger Indosat H3I yang dibuat Kantor Jasa Penilai Publik Ruky, Safrudin & Rekan (RSR) sebagai penilai independen, dinilai akan meleset jauh. Sebab dua perusahaan ini merupakan perusahaan 'sakit'.
Melihat laporan keuangan Maret 2021, ekuitas H3I minus Rp 257 miliar. Ekuitas H3I terus tergerus akibat akumulasi kerugian di 3 tahun terakhir. Rugi bersih H3I juga terbilang spektakuler yaitu Rp 1,7 triliun. Bahkan 3 tahun terakhir H3I tak pernah membukukan keuntungan. Akibat perusahaan yang terus merugi, kemampuan mereka menggelar jaringan dan pertahankan kualitas layanan juga terbatas. Ini tercermin dari penjualan H3I yang stagnan hanya Rp 3,3 triliun. Sehingga merger ini tidak membawa ke arah perbaikan baik untuk Indosat maupun H3I.
"Dengan memaksakan pembagian dividen Indosat yang besar, beban perseroan akan semakin berat. Ditambah dengan beban kinerja keuangan H3I yang jauh lebih sulit dari Indosat. SRO, Kominfo, dan KPPU harus melihat dengan jeli dalam berikan izin merger Indosat H3I,"kata Kuntho.
Dengan potensi tekanan likuiditas ini, Kuntho melihat komitmen pembangunan jaringan telekomunikasi yang dilakukan Indosat H3I akan meleset dari dokumen merger mereka. Hampir pasti janji untuk menggelar jaringan ke Negara juga akan sulit mereka penuhi.
"Sudah tepat jika Kominfo tarik frekuensi perusahaan hasil merger Indosat H3I. Dengan perseroan yang berpotensi mengalami kesulitan cash flow, harusnya Kominfo dapat menarik lebih banyak lagi frekuensi Indosat H3I,"tutup Kuntho.
(dna/)