Mulai 6 Desember yang lalu, pelaku pasar modal Indonesia tidak bisa lagi mengintip kode broker yang melakukan transaksi selama transaksi perdagangan berlangsung. Informasi tentang kode broker yang melakukan aksi beli atau jual baru bisa dilihat setelah pasar tutup.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono W. Widodo menjelaskan, salah satu alasan BEI menutup kode broker adalah mencegah praktik herding behavior dan front running. Memang belakangan ini marak praktik 'ikut-ikutan' atau 'curi start' yang dilakukan investor ritel dalam mengambil keputusan bertransaksi saham.
Pertanyaannya, seberapa parah dampak herding behavior jika terus dibiarkan hingga akhir nya BEI mengambil keputusan menutup kode broker?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sebenarnya herding behavior itu bukan hal yang baru dan bukan hal yang yang unusual juga. Kalau kita lihat waktu di awal-awal pandemi itu sektor-sektor yang berhubungan dengan kesehatan, dengan farmasitikal, rumah sakit itu mengalami peningkatan yang luar biasa. Ini kan juga sebenarnya herding behavior," jawabnya saat berbincang dengan detikcom, ditulis Kamis (16/12/2021).
"Karena orang berpikir secara logika bahwa 'Oh kalau misalnya terjadi pandemi tentunya banyak industri yang mengalami penurunan, tapi juga ada industri yang sangat tertolong, karena memang itu hal-hal yang dibutuhkan'," lanjutnya.
Laksono juga mencontohkan, sempat terjadi juga kenaikan harga dari saham-saham yang sifatnya internet of things dan berhubungan dengan e-commerce. Itu juga menurutnya masuk dalam kategori herding behavior.
Namun contoh-contoh tersebut, kata Laksono adalah herding behavior yang didasari oleh aspek fundamental. Sebab yang menjadi alasannya karena kondisi pandemi COVID-19 bisa mendorong kinerja perusahaan tercatat di sektor-sektor tertentu.
Lihat juga video 'Soal Endorse Saham, Komisaris BEI: Kewajiban Moral Influencer':
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Herding Behavior Diperbaiki
Nah yang menjadi masalah adalah aksi ikut-ikutan investor ritel yang membeli atau menjual saham hanya berlandaskan data transaksi broker-broker tertentu saja. Mereka berharap bisa ikut mengambil keuntungan dengan percaya pada data broker tertentu. Hal itu tentu keputusan investasi yang tidak berlandaskan fundamental.
"Kalau kalau herding behavior yang hanya melihat broker a atau b ini menjual atau membeli apa, saya rasa itu suatu herding behavior yang perlu diperbaiki ke depannya. Apakah ini menjadi suatu hal yang parah, saya rasa nggak," ucapnya.
Meski begitu Laksono menilai aksi ikut-ikutan yang tak berlandaskan fundamental itu bukan sesuatu yang hal sangat buruk. Namun BEI selaku penyelenggara pasar modal merasa perlu untuk memperbaikinya, terutama untuk melindungi para investor ritel.
"Kita lihat sendiri ya selama penerapan ini dilakukan pada minggu lalu, tidak ada penurunan dari baik dari segi value transaction, frekuensi maupun jumlah lot atau jumlah lembar saham yang ditransaksikan. Bahkan ada kecenderungan sedikit naik malah dibandingkan dengan rata-rata yang sudah tercipta selama awal tahun sampai dengan awal Desember," tambahnya.
"Jadi kalau ditanya apakah ini suatu apa yang masalah yang berat, saya rasa nggak juga, karena investor kita pun, investor ritel pun juga sebagian besar adalah investor yang rasional. Karena kita bisa lihat bahwa memang tidak terjadi penurunan yang signifikan, artinya memang ada pihak-pihak yang tidak setuju, tapi pihak yang memahami dan menyetujui hal ini juga cukup banyak," tutupnya.