Lesunya Bisnis Penerbangan di Balik Aksi Banting Setir Maskapai Hary Tanoe

Lesunya Bisnis Penerbangan di Balik Aksi Banting Setir Maskapai Hary Tanoe

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 13 Feb 2022 19:05 WIB
Hary Tanoesoedibjo
Foto: Ari Saputra/detikcom
Jakarta -

Lesunya bisnis penerbangan membuat bisnis maskapai milik Hary Tanoesoedibjo banting setir. Seperti diketahui maskapai grup MNC, PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (Indonesia Air Transport) banting setir jadi perusahaan batu bara. Perusahaan itu pun berganti nama menjadi PT MNC Energy Investments Tbk.

Pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Atista Atmadjati menilai wajar saja Hary Tanoe mengalihkan bisnisnya. Langkah ini menurut Arista adalah salah satu bentuk kepiawaian intuisi bisnis Hary Tanoe yang tajam. Keuntungan bisnis maskapai menurutnya memang tak terlalu besar.

Return of investment (ROI) alias tingkat pengembalian modalnya pun memakan waktu banyak. Apalagi di tengah hantaman pandemi COVID-19 yang melemahkan sektor perjalanan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bisnis maskapai sebenarnya margin-nya cuma 2-3% maksimal. Kan umumnya usaha lain itu profit bisa 10%. Ditambah lagi kita paham intuisi bisnis HT (Hary Tanoe) tajam, dia pengusaha puluhan tahun pasti tajam instingnya untuk cari untung," kata Arista kepada detikcom, Minggu (13/2/2022).

Kini Hary Tanoe menurut Arista berpindah ke bisnis yang tingkat pengembalian investasinya cepat. "Jadi HT pindah haluan ke bisnis yang return on investment dan pay back period-nya cepat," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, Arista pun menilai selama ini bisnis Indonesia Air Transport nampak tak begitu berkembang. Pasarnya pun kecil di golongan maskapai charter. Kalau mau dibandingkan dengan maskapai reguler yang sudah ada macam Lion Air, Garuda Indonesia, ataupun Sriwijaya Air pun maskapai Hary Tanoe nampaknya tak akan bisa berkompetisi.

"Airline HT, Indonesia Air Transport memang sangat kecil pasarnya di charter. Saya lihat dia juga tidak bisa compete dibanding Lion, Garuda, dan Sriwijaya Group," ungkap Arista.

Hary Tanoe sendiri sebetulnya menyadari bisnis maskapainya tak memberikan keuntungan apapun. Dia menyampaikan Indonesia Air Transport selama ini mengalami kerugian yang terus-menerus. Hary Tanoe menyebut kerugian perusahaan saat menjalani bisnis penerbangan telah terjadi sejak 2008.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Perusahaan maskapainya ini sendiri terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham IATA, maka sebagai perusahaan terbuka pun Hary Tanoe ingin agar perusahaannya memberikan yang terbaik buat investor.

"IATA sebagai maskapai ini rugi dari 2008, konsisten sampai 2021. Nah mudah-mudahan di 2022 ini berubah IATA jadi perusahaan solid, besar, dan profitable dengan perubahan bisnis yang dilakukan," kata Hary Tanoe dalam konferensi pers yang disiarkan virtual, Kamis (10/2/2022).

Dia juga mengatakan bisnis penerbangan Indonesia saat ini makin berat. Terlebih lagi dengan adanya pandemi COVID-19 membuat penumpang pesawat berkurang sangat pesat.

"Air transport itu secara umum bisnisnya memang susah, belum COVID-19 saja sudah nggak gampang. Ditambah COVID-19 makin sedikit penumpangnya. Tiap tahun rugi dari 2008," kata Hary Tanoe.

Hary Tanoe sendiri tak serta merta mendepak bisnis penerbangan dari portofolio bisnisnya. Setelah perusahaan maskapainya banting setir jadi perusahaan investor tambang batu bara, bisnis penerbangan tetap dipertahankan.

Hary Tanoe menegaskan, bisnis penerbangan itu akan dijadikan anak usaha. Bila awalnya bisnis aviasi yang utama, kini hanya sampingan.

"Bisnis penerbangan yang dimiliki IATA akan dipertahankan, jadi anak usaha MNC Energy Investments, tapi tidak dibesarkan," kata Hary Tanoe.

Secara lengkap, Indonesia Air Transport yang berubah nama jadi MNC Energy Investment banting setir ke bisnis pertambangan dengan mengakuisisi 99,33% saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) yang merupakan perusahaan batu bara dari PT MNC Investama Tbk (BHIT).

BCR merupakan perusahaan induk dari sembilan perusahaan batubara dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dari sembilan perusahaan itu, sudah ada dua perusahaan yang memproduksi batu bara.

(hal/dna)

Hide Ads