Jakarta -
Hary Tanoesoedibjo mengambil langkah ekstrem pada lini bisnis maskapainya, Indonesia Air Transport. Maskapai itu kini banting setir ke sektor pertambangan batu bara.
Perusahaan yang awalnya bernama PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk itu pun telah resmi berganti nama menjadi PT MNC Energy Investments Tbk.
Perusahaan itu terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), dan meski berubah nama kode sahamnya tetap bernama IATA. Harry Tanoe menjelaskan langkah IATA mengubah nama dan mengganti kegiatan usaha utamanya telah mendapat restu dari pemegang sahamnya dalam RUPSLB yang dilakukan Kamis 10 Februari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seiring dengan hal itu, perusahaan juga telah mengambilalih 99,33% saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) perusahaan batu bara dari PT MNC Investama Tbk (BHIT).
"Bidang usaha berubah jadi investment holding company yang memiliki perusahaan di bawahnya, karena ada akusisi PT BCR," kata Harry Tanoe dalam konferensi pers yang disiarkan virtual, Kamis (10/2/2022).
Apa alasan Hary Tanoesoedibjo banting setir bisnis maskapai jadi pertambangan? Dia menyampaikan Indonesia Air Transport selama ini mengalami kerugian yang terus-menerus.
Hary Tanoe menyebut kerugian perusahaan saat menjalani bisnis penerbangan telah terjadi sejak 2008. Sebagai perusahaan terbuka pun, Hary Tanoe ingin agar perusahaannya memberikan yang terbaik buat investor.
"IATA sebagai maskapai ini rugi dari 2008, konsisten sampai 2021. Nah mudah-mudahan di 2022 ini berubah IATA jadi perusahaan solid, besar, dan profitable dengan perubahan bisnis yang dilakukan," kata Hary Tanoe.
"Apalagi kan kami ini perusahaan Tbk, kami mau berikan yang terbaik untuk pemegang saham," tegasnya.
Dia juga mengatakan bisnis penerbangan Indonesia saat ini makin berat. Terlebih lagi dengan adanya pandemi COVID-19 membuat penumpang pesawat berkurang sangat pesat.
"Air transport itu secara umum bisnisnya memang susah, belum COVID-19 saja sudah nggak gampang. Ditambah COVID-19 makin sedikit penumpangnya. Tiap tahun rugi dari 2008," kata Hary Tanoe.
Lihat juga video 'Proyek Hilirisasi Batu Bara Ditargetkan Rampung dalam 30 Bulan':
[Gambas:Video 20detik]
Kemudian, meskipun perusahaan berganti nama dan mengubah bisnis utamanya, lini bisnis aviasi IATA tak serta merta ditinggalkan. Hary Tanoe menegaskan, bisnis penerbangan itu akan dijadikan anak usaha.
Bila awalnya bisnis aviasi yang utama, kini hanya sampingan. "Bisnis penerbangan yang dimiliki IATA akan dipertahankan, jadi anak usaha MNC Energy Investments, tapi tidak dibesarkan," katanya.
Menerawang Peruntungan Bisnis Batu Bara
Perusahaan BCR yang diakuisisi oleh IATA merupakan perusahaan induk dari sembilan perusahaan batubara dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dari sembilan perusahaan itu, sudah ada dua perusahaan yang memproduksi batu bara.
"Di tahun 2021 dari dua perusahaan ini produksi 2,5 juta MT batu bara dan pendapatannya hampir Rp 1,1 triliun jadi besar sekali," kata Hary Tanoe.
Hary Tanoe menyatakan di tahun 2022 ini produksi batu bara BCR bakal ditambah hingga mencapai 8 juta MT, dua perusahaan di bawah BCR bakal melakukan produksi tahun ini. Dengan begitu, bila dihitung keuntungannya bisa jadi meningkat hingga 3 kali lipat.
"Saya kasih hint sedikit. Di 2021, BCR itu pendapatannya Rp 1,1 triliun lebih dengan produksi 2,5 juta MT. Nah kalau bisa ditingkatkan 8 juta metrik ton tahun ini, maka keuntungan tinggal dikali tiga aja. Tiga kali lipat naiknya," papar Hary Tanoe.
Menurut Hary Tanoe, total luasan area pertambangan dari 9 perusahan itu mencapai 74 ribu hektare. Sumber daya batu baranya mencapai 1,6 Metrik Ton (MT), namun perkiraan cadangan terbuktinya sekitar 500-700 MT per tahun.
"Sumber dayanya, dari 7 yang belum produksi saja 1,4 miliar MT, 2 yang pertama sudah produksi 200 juta MT. Jadi, kurang lebih 1,6 miliar metrik ton, itu baru perkiraan," ungkap Hary Tanoe.
"Biasanya batu bara dibor dulu agar ketahuan proven-nya. Perkiraan kami reserve-nya 500-700 MT yang mienable dan bisa ditambang," katanya.
Sebagai informasi, IATA sendiri mengakuisisi 99,33% saham BCR dengan harga mencapai US$ 140 juta. Jumlah itu dinilai dari harga dua anak usaha batu bara yang sudah berproduksi. IATA pun berencana bakal melakukan right issue saham untuk membiayai akuisisi dari BCR.
"Yang dinilai dua perusahaan saja yang sudah produksi. Sisanya bonus buat IATA. Yang tujuh nggak dihitung karena belum produksi," kata Hary Tanoe.