Pandemi COVID-19 membuat pasar modal dalam negeri justru diserbu investor baru yang didominasi kalangan milenial. Ada beberapa fakta yang membuat ini terjadi.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Wimboh Santoso mengatakan fakta pertama, bahwa pekerja yang memiliki gaji tetap bingung mau menggunakan uangnya untuk apa selama pandemi COVID-19. Dengan begitu mereka memilih berinvestasi di pasar modal.
"Bayangkan saja semua gaji terutama yang punya gaji tetap kan masih dapat gaji, kita nggak bisa lagi ngopi, dua tahun nggak pernah ngopi lho kita, nggak pernah bawa anak jalan-jalan, ke hotel tutup, duitnya utuh, mau ke luar negeri juga nggak bisa dalam waktu dua tahun. Uangnya ke mana? Ditabung," kata Wimboh dalam program Blak-blakan detikcom yang tayang Rabu (13/7/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain pandemi COVID-19, faktor yang menarik milenial untuk berinvestasi di pasar modal adalah adanya transformasi digital. Hal itu semakin memudahkan milenial dalam bertransaksi.
"Kita buka terkait investasi dengan platform digital, luar biasa digital kita dorong, transformasi digital kita percepat termasuk perbankan, pasar modal, asuransi 'eh lu jualannya jangan pakai lagi manusia, ini COVID bahaya, lu transform pakai digital' even rapat kita bolehkan digital, RUPS digital, semua digital termasuk penjualan produk pasar modal menggunakan digital," tuturnya.
"Akhirnya yang punya uang juga pikir daripada duit nganggur di bank nggak ada gunanya mending kita masukkan ke pasar modal, pesan itu sampai, langsung investor naik terutama ya milenial ini biasanya yang suka piknik, ngopi kan milenial," tambahnya.
Berdasarkan catatan detikcom, sepanjang 2020 jumlah investor di pasar modal Indonesia mencapai 3,87 juta Single Investor Identification (SID) yang terdiri atas investor saham, obligasi maupun reksa dana. Jumlah itu meningkat 56% dibanding tahun sebelumnya.
Pertumbuhan jumlah investor pasar modal terus berlanjut di 2021 dengan peningkatan 92,7% dibanding tahun sebelumnya. Sepanjang tahun itu jumlahnya bertambah sekitar 3,6 juta investor, sehingga jadi 7,48 juta investor.
"Berkaitan dengan euforia ini kan potensi dari demand langsung ditangkap juga para emiten baru sehingga ada Rp 300 triliun di 2021 itu emiten baru dan itu kebanyakan adalah digital. Proses ini kan memang terjadi dan memang kadang-kadang up and down itu karena preferensi aja dan ini sentimen, kalau ada sektor bagus ya pindah, ini adalah fenomena yang normal," kata Wimboh.
(aid/eds)