PT Garuda Indonesia Tbk baru merilis laporan keuangan tahun 2021. Dalam laporan tersebut perseroan masih mencatat kerugian tahun berjalan sebesar US$ 4,16 miliar atau setara dengan Rp 62,3 triliun (kurs Rp 14.993).
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra optimis akan mencatatkan kinerja positif pada semester II-2022. Keyakinan itu sejalan dengan akselerasi pemulihan kinerja yang sedang dioptimalkan setelah lolos dari jeratan pailit melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Juni 2022.
"Optimisme tersebut yang terus kami selaraskan dengan demand dan tren pergerakan penumpang yang semakin meningkat. Oleh karenanya kami optimistis melalui momentum tercapainya homologasi PKPU, Garuda dapat secara konsisten mempertahankan capaian kinerja positif serta ke depannya dapat segera membukukan profit," katanya dalam keterangan resmi, Rabu (13/7/2022).
PKPU Garuda memang telah rampung, namun hingga saat ini saham berkode GIAA itu masih digembok oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Penghentian sementara perdagangan efek ini sudah berlangsung selama lebih dari setahun sejak 18 Juni 2021.
Berdasarkan RTI, pergerakan saham GIAA terakhir sebelum disuspensi berada di level Rp 222 dengan kapitalisasi pasar (market cap) perseroan mencapai Rp 5,75 triliun.
Dalam tiga tahun terakhir diperdagangkan saham GIAA memang cenderung terus menukik ke bawah. Level tertinggi terjadi pada Juli 2019 di mana saat itu berada di level Rp 605 per saham, namun terus menurun sampai mentok di level Rp 150 per saham pada Maret 2020.
Harga tersebut merupakan yang terendah bahkan sejak Garuda melantai di BEI pada 11 Februari 2011 dengan harga penawaran tercatat Rp 750 per saham. Penurunan itu dikarenakan perseroan menjadi sorotan akibat jeratan utang dan ancaman pailit.
Saham GIAA sempat bangkit lagi ke level Rp 453 per saham pada Januari 2021. Momen itu tidak berlangsung lama karena saham terus mengalami penurunan hingga terakhir di perdagangan di level Rp 222 per saham.
Jika ditarik ke belakang, keputusan BEI menghentikan sementara perdagangan efek GIAA karena perseroan menunda pembayaran kupon global sukuk yang telah jatuh tempo pada 3 Juni 2021 dan telah diperpanjang pembayarannya dengan menggunakan hak grace period selama 14 hari, sehingga jatuh tempo pada 17 Juni 2022.
"Hal tersebut mengindikasikan adanya permasalahan pada kelangsungan usaha perseroan," kata Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 2 BEI Vera Florida dalam keterbukaan informasi, Jumat (18/6/2021).
Saham GIAA bisa terancam didepak dari BEI alias delisting jika masa suspensinya terus berlangsung hingga mencapai 24 bulan. Hal itu mengacu pada Pengumuman Bursa No Peng-SPT-00011/BEI.PP2/06-2021 tanggal 18 Juni 2021 perihal Penghentian Sementara Perdagangan Efek GIAA, yang menyatakan bahwa delisting bisa dilakukan apabila mengalami suspensi 24 bulan berturut-turut.
Lihat juga video 'Kerugian Korupsi Garuda Indonesia Capai Rp 8,8 Triliun!':
(aid/das)