Nilai tukar dolar AS terus menguat dan menekan nilai tukar rupiah. Dari data Reuters terakhir dolar AS tercatat Rp 15.244.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengungkapkan ada beberapa sentimen yang menyebabkan menguatnya dolar AS.
Dari sisi eksternal pasar keuangan yang khawatir dan gelisah mendorong safe-haven dolar ke puncak baru dua dekade pada hari Rabu karena kenaikan suku bunga global memicu kekhawatiran resesi, sementara sterling mendekam di dekat posisi terendah sepanjang masa di tengah kekhawatiran atas rencana pemotongan pajak radikal Inggris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenaikan dolar AS tanpa henti terjadi karena benchmark imbal hasil Treasury AS 10-tahun naik menjadi 4% untuk pertama kalinya sejak 2010, mencapai 4,004%. Imbal hasil dua tahun mencapai 4,2891%," kata Ibrahim, Rabu (28/92/2022).
Dia mengungkapkan Federal Reserve telah memimpin perjuangan global melawan lonjakan inflasi, berubah menjadi lebih agresif baru-baru ini dengan memberi sinyal kenaikan suku bunga lebih lanjut di atas pergerakan berukuran super dalam beberapa bulan terakhir.
Ibrahim menambahkan ada juga sentimen dari sebuah sumber mengatakan kepada Reuters pada Selasa malam bahwa otoritas moneter China meminta bank-bank lokal untuk menghidupkan kembali alat penetapan yuan yang ditinggalkannya dua tahun lalu karena mereka berusaha untuk mengarahkan dan mempertahankan mata uang yang melemah dengan cepat.
Baca juga: Bank Sudah Jual Dolar AS Rp 15.500! |
Selain itu ada juga negara yang diramal akan menghadapi resesi tahun 2023 seperti Eropa, China dan AS. Volume perdagangan dunia juga tetap rendah Ini menandakan ekonomi dunia di 2023 semakin suram. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi semakin rendah disertai dengan tingginya tekanan inflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global.
Kemudian, di tengah perlambatan ekonomi, disrupsi pasokan meningkat sehingga mendorong harga komoditas energi bertahan tinggi. Tekanan inflasi global semakin tinggi seiring dengan ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung, serta terjadinya fenomena heatwave di beberapa negara, sehingga mendorong bank sentral di banyak negara melanjutkan kebijakan moneter agresif.
Hal tersebut mendorong semakin kuatnya mata uang dolar AS dan semakin tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global, sehingga mengganggu aliran investasi portofolio dan tekanan nilai tukar di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
"Dengan kondisi yang tidak pasti akibat kenaikan suku bunga yang agresif, Bank Indonesia tidak tinggal diam, terus melakukan pengawasan secara ketat dan terus melakukan intervensi di pasar valas dan Obligasi melalui perdagangan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) sehingga bisa menahan pelemahan mata uang garuda yang tajam bisa dikendalikan," ujar dia.
Menurut Ibrahim pemerintah juga terus melakukan intervensi dengan mensubsidi barang-barang konsumsi, Bansos dan BLT walaupun secara ekonomis belum bisa membantu secara signifikan namun pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja agar pengaruh global tidak terlalu besar imbasnya.
"Kemudian di saat intervensi BI dan Pemerintah kurang berpengaruh, sudah waktiunya presiden Joko Widodo beserta team ekonominya memberikan pengarahan dan solusi secara live di Televisi berupa stimulus, guna untuk menenangkan pasar sehingga pelemahan rupiah bisa di kendalikan," ujar dia.
Pada penutupan pasar sore ini, mata uang rupiah ditutup melemah 142 point walaupun sebelumnya sempat melemah 150 point di level Rp 15.266 dari penutupan sebelumnya di level Rp 15.124. "Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 15.250 - Rp 15.310," jelas dia
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto menjelaskan hingga siang ini hampir semua mata uang Asia mengalami pelemahan terhadap dolar AS.Dia mengungkapkan ini artinya sentimen berasal dari penguatan dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang.
"Hari ini faktor triggernya adalah pertama statemen pejabat Fed yang semakin memberikan nuansa bahwa the Fed masih akan tetap hawkish," kata dia.
(kil/zlf)