Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS fluktuatif, terkadang menguat terkadang melemah. Pada awal 2022, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di Rp 14.381 dan menguat pada Februari dan Maret masing-masing Rp 14.371 dan Rp 14.349.
Per April, rupiah sempat menyentuh Rp 14.356. Meski demikian, Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah masih stabil selama April 2022 ditopang berlanjutnya valas domestik, aliran masuk modal asing, dan persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Gubernur BI Perry Warjiyo kala itu mengungkapkan, stabilitas nilai tukar rupiah diperkirakan tetap terjaga didukung oleh kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap baik, terutama oleh lebih rendahnya defisit transaksi berjalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan fundamental ekonomi," jelasnya dalam konferensi pers, Selasa (19/4/2022) lalu.
Memasuki Mei, nilai tukar rupiah mulai melemah dan sempat berada di Rp 14.544. PadaJuni, nilai tukar rupiah bahkan sampai anjlok ke Rp 14.860. Per 22 Juni 2022, rupiah terdepresiasi 1,93% dibandingkan akhir Mei 2022.
Perry mengatakan depresiasi rupiah tersebut sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara. Kebijakan moneter diambil sebagai respons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global. Nilai tukar rupiah sampai 22 Juni 2022 terdepresiasi 4,14% tahun berjalan (year to date/ytd) dibandingkan akhir 2021.
"Ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 5,17%, Malaysia 5,44%, dan Thailand 5,84%," kata dia dalam konferensi pers, Kamis (23/6/2022) lalu.
Memasuki Juli, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kian melemah mencapai Rp 14.958 atau hampir Rp 15.000. Penguatan nilai tukar dolar AS ini dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya ancaman resesi hingga kenaikan suku bunga acuan AS.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menjelaskan, imbal hasil obligasi AS turun. Hal itu menunjukkan jika pelaku pasar tengah mengamankan aset mereka.
"Yield obligasi AS tenor 10 tahun sudah bergerak di bawah 3% yaitu di kisaran 2,88%. Isu resesi menjadi penyebab beralihnya investasi pelaku pasar keuangan ke obligasi AS. Harga aset berisiko termasuk rupiah pun dalam tekanan. Di tengah kebijakan pengetatan moneter bank sentral dunia ditambah inflasi yang tinggi, pelaku pasar memandang risiko resesi meningkat," terangnya kepada detikcom, Senin (4/7/2022) lalu.
Dia menuturkan, pelaku pasar juga mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif. Apalagi Federal Reserve sudah sering memberikan sinyal mendorong suku bunga demi meredam inflasi di negaranya.
"Selain itu, pasar juga masih mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif. Perbedaan yield antara Indonesia dan AS yang menyempit mendorong pasar mencari aman di aset dolar AS dibandingkan rupiah sehingga ini ikut memberikan tekanan ke rupiah," jelasnya.
Senada, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, potensi kenaikan suku bunga acuan AS membuat pelaku pasar beralih ke dolar AS. "Spekulasi tentang kenaikan suku bunga dan inflasi yang cukup tinggi ini yang membuat pelaku pasar condong beralih ke dolar. Karena kita tahu, bahwa inflasi yang tinggi, suku bunga tinggi akan menyebabkan resesi," katanya.
Lebih lanjut, Ariston Tjendra mengatakan, penguatan dolar AS akan berimbas ke harga barang konsumsi yang memerlukan impor. Selain itu, dolar AS yang menguat bisa mendorong inflasi yang kemudian menekan daya beli masyarakat dan berdampak pada ekonomi yang melambat.
Penguatan dolar AS terhadap rupiah belum usai. Cek halaman berikutnya.