Ternyata mayoritas pelaku pasar modal di Indonesia masih belum bisa menentukan siapa sosok calon presiden yang diharapkan untuk menggantikan Presiden Joko Widodo tahun depan. Bahkan mereka mengaku masih bingung menentukan mana yang terbaik di antara Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Menurut hasil survei yang dilakukan oleh CNBC Indonesia Reasearch sebanyak 44,19% responden mengaku masih bingung dan belum bisa menentukan siapa sosok yang diharapkan jadi Presiden Indonesia selanjutnya. Hasil ini relevan dengan belum adanya ide dan gagasan resmi dan terbuka disampaikan oleh para kandidat tentang arah kebijakan ekonomi, khususnya mengenai pasar modal.
Masih banyak pelaku pasar yang wait and see visi dan misi karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan menerapkan capres dan calon wakil presiden (cawapres) pada 19 Oktober - 25 November 2023. Masa kampanye pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, dan pemungutan suara 14 Februari 2024.
"Mayoritas yang belum menentukan umumnya memiliki dua alasan. Pertama semua kandidat memiliki kompetensi yang relatif tidak jauh berbeda. Kedua, belum ada ide dan gagasan konkrit dari para kandidat," ujar Head of CNBC Indonesia Research, sekaligus Direktur Eksekutif CNBC Indonesia Intelligence Unit (CIIU), Muhammad Ma'ruf dikutip Selasa (11/7/2023).
CIIU sendiri merupakan divisi konsultasi bisnis, ekonomi dan politik CNBC Indonesia Research. Adapun CNBC Indonesia Research adalah research house mandiri, unit semi-otonom dari CNBC Indonesia, media market, bisnis dan ekonomi terintegrasi (TV dan digital) terbesar di Indonesia.
"Untuk kandidat capres berikutnya, belum bisa memilih karena ingin melihat secara jelas visi dan misi masing-masing calon. Selain itu, juga menanti sosok cawapres ketiganya," ujar salah satu responden, chief executive officer di salah satu asset management. Jawaban ini menyiratkan bahwa sosok cawapres akan menentukan tingkat elektabilitas para kandidat di mata pelaku pasar.
Akan tetapi, dari 63,79% responden yang sudah menentukan jagoannya, sebanyak 27,91% memilih Ganjar Pranowo, posisi kedua Prabowo Subianto sebanyak 27,91% suara dan hanya 2,33% untuk Anies Rasyid Baswedan.
Meski Ganjar sementara unggul, namun level popularitasnya di mata pelaku pasar modal Indonesia boleh dikata 'rata-rata air' dengan Prabowo, ada banyak peluang saling salip mengingat ada banyak pelaku pasar yang belum menentukan pilihan. Namu , mayoritas pemilih kedua kandidat itu menganggap keduanya akan melanjutkan program dan kebijakan petahana. Ini sejalan dengan kesan kuat dari pelbagai sinyal endor politik yang ditampilkan Presiden Jokowi kepada publik untuk dua nama itu.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi secara terbuka mengatakan akan "cawe-cawe" untuk ikut menentukan siapa yang paling pas menjadi penerusnya dengan alasan untuk memastikan yang terpilih bisa mengeluarkan Indonesia dari middle income trap. Sementara itu, hanya 2,33% suara pasar yang mengaku memilih Anies. "Hanya sedikit pelaku pasar yang ingin perubahan. Ini tentu sejalan dengan keumuman sikap dan perilaku pengusaha dan pelaku pasar yang tidak suka dengan perubahan radikal. Umumnya pebisnis dan pelaku pasar itu pro status quo," ujar Ma'ruf.
Munculnya nama Ganjar dan Prabowo dalam benak pelaku pasar sebagai capres idaman tidak lepas dari imej kuat siapapun yang terpilih diantara keduanya akan meneruskan kebijakan Presiden Jokowi. Hasil survei mengatakan tidak ada yang tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi dalam mengelola perekonomian negara, khususnya pada pasar modal Indonesia. Hanya saja level kepuasannya saja yang berbeda. Sejumlah alasan dari responden dapat dikelompokkan menjadi alasan khusus dan umum sebagai berikut;
Pertama, kebijakan Presiden Jokowi secara langsung berdampak pada kinerja bursa saham dan pasar instrumen investasi lainnya. Pasar menilai Presiden sudah pro-pasar. Sejumlah indikator diantaranya, semakin banyaknya perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana/ IPO yang mengindikasikan pelaku usaha mulai melakukan ekspansi. Jumlahnya sejauh ini sebanyak 391 IPO, dua kali lebih banyak dibandingkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama kepemimpinan Jokowi arus kas dana asing di pasar modal masuk ke Indonesia naik signifikan. Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah sejak 2014 juga turun, dan mendapat pengakuan baik dari lembaga pemeringkat pemeringkat internasional. IHSG pada zaman Jokowi juga menyentuh level tertinggi sepanjang masa.
"Skala kepuasan saya 7-8 (dari 10/sangat puas). Karena kalau melihat perkembangan 10 tahun dari sisi ekonomi dan pasar modal yang dilakukan pemerintah cukup baik. Di sisi keuangan ada tax amnesty walau painful buat kita tapi cukup membantu negara. Belum lagi banyak sekali kebijakan-kebijakan yang melindungi nasabah/investor seperti regulasi Paydi dan lain sebagainya," kata seorang manajer product development di salah satu manajer investasi asing yang mengelola dana publik lebih dari Rp 30 triliun.
Kedua, Presiden Jokowi cukup baik dalam mengelola kestabilan dan performa makroekonomi Indonesia. Ini tidak lepas dari sosok penting dibalik layar kebijakan ekonomi Indonesia, yakni Menteri Keuangan terbaik dunia, Sri Mulyani Indrawati- versi World Government Summit. "Jokowi paling the best dibandingkan presiden sebelumnya. Ketika menangani pandemi Covid-19 sangat cepat tanggap, lalu pemulihan ekonomi cepat, terbukti dari pertumbuhan ekonomi pesat," ungkap head of research di salah satu perusahan sekuritas asing yang beroperasi di Indonesia.
Sejumlah alasan fundamental pelaku pasar modal puas terhadap Presiden jokowi diantaranya adalah pilihan tepat kebijakan hilirisasi sektor pertambangan akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang. Banyak yang menaruh apresiasi langkah berani Presiden untuk mengalihkan beban subsidi bahan bakar untuk pembangunan infrastruktur. Angka jumbo laba BUMN yang tercatat sebagai paling besar dalam sejarah di bawah Menteri BUMN Erick Thohir juga mendapat poin positif. Pasar juga positif mendukung deregulasi radikal Presiden Jokowi melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
Presiden juga dinilai sudah tepat dalam menangani pasar tenaga kerja, dan inflasi. Angka pengangguran misalnya turun secara berkala sejak krisis global 2008 di kisaran 8,4% menjadi sekitar 5%. Juga, angka inflasi dari 11% menjadi di kisaran 3%. Indonesia dibawah komando Presiden Jokowi dinilai pasar juga mampu menghadapi sejumlah masalah krusial dari gejolak geopolitik dan ekonomi dunia, seperti respons baik terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
"Secara tidak langsung, kebijakan yang diambil Pak Jokowi dari segi ekonomi maupun politik membuat Indonesia bisa menunjukkan 'value' sebenarnya. Khususnya dari segi keunggulan demografis dan geografis kita. Hilirisasi mengundang penolakan dari negara lain, tapi karena ini, neraca dagang dan cadangan devisa kita naik. Aliran investasi asing dan domestik cetak rekor tahun lalu," kata analis senior di perusahaan sekuritas "Top 10" dari sisi nasabah ritel.
Catatan-catatan minus. Pelaku pasar memberikan sejumlah catatan terhadap kebijakan Presiden Jokowi yang diharapkan diselesaikan atau tidak diulangi oleh presiden ke depan. Dua diantaranya adalah kebijakan yang dinilai tidak pro-bisnis dalam penanganan kasus korupsi di Jiwasraya, Asabri dan juga kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebagaimana diketahui, pemerintahan Jokowi menginisiasi kenaikan tarif PPN menjadi 11% dari 10% pada 1 April 2022 lalu, dan merencanakan menjadi 12% pada 2025.
(das/das)