Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon telah resmi diluncurkan pemerintah hari ini, Selasa (26/9/2023). Sejalan dengan peresmiannya itu pula, aktivitas perdagangan bursa karbon juga resmi dibuka.
Dalam pembukaan perdagangannya di pukul 09.00, tercatat ada sebanyak 13 transaksi, 13 total pesanan, dan 16 pengguna terdaftar. Perdagangan kali ini baru menjual satu produk yakni Indonesia Technology Based Solution (IDTBS), yang dibuka dengan harga Rp 69.900 per ton CO2 equivalent. Secara keseluruhan volume transaksinya mencapai 459.914 ton CO2 equivalent.
Lalu, siapa saja yang boleh ikut transaksi di bursa anyar ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jeffrey Hendrik menjelaskan, hingga saat ini yang boleh turut serta sebagai pembeli karbon ialah di level institusi. Kondisi ini pun sama dengan rata-rata bursa karbon global.
"Memang di bursa karbon global prakteknya demikian. Bursa Karbon Korea yang sudah berjalan 8 tahun sampai sekarang belum bisa melayani retail karena memang tujuannya adalah untuk bagaimana negara ini bisa mencapai net zero, melalui perdagangan karbon, bukan untuk spekulatif," ujarnya, saat ditemui di Gedung BEI, Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2023).
Untuk awalan ini, instansi yang turut berkecimpung dalam aktivitas perdagangan karbon di IDXCarbon baru berasal dari instansi yang punya kantor dan memiliki aktivitas di Indonesia. Begitu pula dengan instansi yang mau menyuplai karbon, yang bahkan juga diharuskan terdaftar pada Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Adapun pada hari ini, perdagangan baru dibuka untuk produk milik anak PT Pertamina New & Renewable Energy (NRE), yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk yang bersumber dari Proyek Lahendong Unit 5 & Unit 6 di Sulawesi Utara.
"Sampai hari ini kalau kita lihat di SRN PPI ada dua proyek, dari Pertamina dan PLN yang totalnya (suplai karbon) 1,7 juta ton itu. Apakah nanti besok atau lusa ada lagi yang tercatat di SRN PPI kita akan sama-sama tunggu," jelasnya.
Jeffrey menjelaskan, nantinya para pembeli karbon juga diberi keleluasaan untuk menjual kembali dengan harga yang menyesuaikan dengan pasar yang ada. Misalnya saja untuk produk Pertamina yang diperdagangkan tadi pagi dengan harga Rp 69.900 per tCO2e. Di jam 11.00 saja harganya sudah naik menjadi Rp 77.000.
"Bisa turun bisa naik, jadi tergantung mekanisme pasar. Jadi kalau besok ada yang mau menjual di harga Rp 50.000 Rp 60.000, Rp 80.000, karena mereka sudah memiliki unit karbonnya, silahkan pasang di harga berapapun sesuai dengan mekanisme pasar," jelasnya.
Ia berharap, ke depan akan ada semakin banyak pemain yang turut serta dalam membeli karbon sehingga sentimen pasar bisa terbentuk. Selain itu, ia juga berharap agar para emiten tertarik untuk mencatatkan karbonnya di SRN-PPI dan turut serta dalam perdagangan sehingga bisa mendapat manfaat ekonomi, serta mendorong pertambahan suplai karbon di bursa.
Sebagai tambahan informasi, pembentukan bursa karbon ini didorong oleh penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. POJK ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Unit karbon yang dapat diperdagangkan melalui bursa karbon adalah efek yang wajib terlebih dahulu terdaftar di SRN-PPI Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Penyelenggara Bursa Karbon.
Perlu diketahui juga, unit karbon sendiri adalah bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang dinyatakan dalam 1 (satu) ton karbon.
Produk yang diperdagangkan di Penyelenggara Bursa Karbon terdiri atas Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Bagi Pelaku Usaha (PTBAE- PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK). Dalam aturan yang dirilis OJK, PTBAE-PU dan SPE-GRK bentuknya merupakan efek, seperti halnya di bursa saham.
PTBAE-PU ditetapkan oleh menteri yang menjadi koordinator pada sektor atau penanggung jawab pada sub sektor dalam tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon. Sementara itu, SPE-GRK ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Simak juga Video: Jokowi Luncurkan Bursa Karbon Indonesia: Kontribusi Lawan Krisis Iklim