4 Fakta Bursa Karbon yang Resmi Diluncurkan

4 Fakta Bursa Karbon yang Resmi Diluncurkan

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Rabu, 27 Sep 2023 06:30 WIB
Bursa Karbon
Peluncuran Bursa Karbon Indonesia. (Foto: Shafira Cendra Arini/detikcom)
Jakarta -

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia alias IDXCarbon di bawah naungan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku operator. Sejalan dengan peresmiannya, perdagangan karbon resmi dibuka.

Pembentukan bursa karbon ini didorong oleh penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. POJK ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.

1. Volume Transaksi Tembus 459.914 Saat Pembukaan

Dalam pembukaannya pada pukul 09.00, tercatat volume perdagangan tembus hingga 459.914 ton CO2 equivalent (tCO2e). Angka tersebut berasal dari sebanyak 13 transaksi, 13 total pesanan, dan 16 pengguna yang telah terdaftar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perdagangan kali ini baru menjual satu produk yakni Indonesia Technology Based Solution (IDTBS), yang dibuka dengan harga Rp 69.900 per ton CO2 equivalent. Produk berasal dari proyek yang telah mendaftarkan diri, yakni Proyek Lahendong Unit 5 & Unit 6 di Sulawesi Utara milik PT Pertamina Geothermal Energy TBK, anak usaha PT Pertamina New Renewable Energy (NRE).

Angka ini pun naik cukup banyak saat 2 jam pasca pembukaan satu tepatnya pukul 11.00, yang mana tercatat perdagangan karbon sebanyak 459.953 ton CO2 equivalent (tCO2e) unit karbon dan terdapat sebanyak 24 kali transaksi.

ADVERTISEMENT

Dalam sambutannya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, OJk mendapatkan kewenangan untuk dalam pengaturan dan pengawasan perdagangan karbon melalui bursa karbon. Menurutnya, implementasi bursa karbon di RI jauh lebih cepat ketimbang negara-negara tetangganya.

"Sebagai pembanding di negara tetangga kita membutuhkan waktu satu setengah sampai dua tahun sejak regulator jasa keuangan, dalam hal ini OJK, untuk bisa ikut betul-betul menerjemahkan dalam kegiatan konkret bursa karbon," katanya.

Sementara bursa karbon RI sendiri hanya butuh waktu 8 bulan. Selain itu, ia juga menyebut bursa karbon negara Jiran memerlukan waktu 3-4 bulan sampai transaksi perdana dapat dilakukan secara final. Sementara Indonesia transaksinya bisa langsung lakukan pada hari ini juga.

2. Diserbu Bank-bank Lokal hingga Asing

Seemntara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Inarno Djajadi mengatakan, para pembeli unit karbon pada perdagangan perdananya hari ini didominasi oleh para pemain dari sektor perbankan. Menurutnya salah satu hal yang mendorong ialah demi mencapai predikat sebagai bank hijau dan untuk mencapai itu dibutuhkan sejumlah kriteria, termasuk penilaian sustainalytics.

"Verifikasi sustainalytics ini mungkin membicarakan bahwasanya ini untuk melabelkan bank ini perlu membeli unit karbon yang ada. Kita lihat beberapa hari ini saja, ada beberapa bank yang inisiatif membeli baik dari regionalnya maupun bank tersebut," kata Iman, dalam konferensi pers di Kantor BEI

Sementara itu, Direktur Utama BEI Iman Rachman mengatakan, banyaknya keterlibatan perusahaan perbankan dalam perdagangan perdananya hari ini, juga didorong oleh cepatnya sosialisasi di industri perbankan terkait dengan bursa karbon ini, mulai dari kantor regional hingga pusat.

"Kita dapat izin 16 September. Sosialisasi butuh waktu. Kita lihat perbankan cukup cepet," ujarnya, dalam momentum yang sama.

Secara keseluruhan, pembeli Unit Karbon pada perdagangan perdana IDXCarbon, yaitu di antaranya PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank DBS Indonesia, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT BNI Sekuritas, PT BRI Danareksa Sekuritas (bagian dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk), PT CarbonX Bumi Harmoni, PT MMS Group Indonesia, PT Multi Optimal Riset dan Edukasi, PT Pamapersada Nusantara, PT Pelita Air Service, hingga PT Pertamina Hulu Energi dan PT Pertamina Patra Niaga.

3. Siapa Saja yang Boleh Ikut Jual-Beli Karbon?

Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jeffrey Hendrik menjelaskan, hingga saat ini yang boleh turut serta sebagai pembeli karbon ialah di level institusi. Kondisi ini pun sama dengan rata-rata bursa karbon global.

"Memang di bursa karbon global prakteknya demikian. Bursa Karbon Korea yang sudah berjalan 8 tahun sampai sekarang belum bisa melayani retail karena memang tujuannya adalah untuk bagaimana negara ini bisa mencapai net zero, melalui perdagangan karbon, bukan untuk spekulatif," ujarnya.

Untuk awalan ini, instansi yang turut berkecimpung dalam aktivitas perdagangan karbon di IDXCarbon baru berasal dari instansi yang punya kantor dan memiliki aktivitas di Indonesia. Begitu pula dengan instansi yang mau menyuplai karbon, yang bahkan juga diharuskan terdaftar pada Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Jeffrey menjelaskan, nantinya para pembeli karbon juga diberi keleluasaan untuk menjual kembali dengan harga yang menyesuaikan dengan pasar yang ada. Misalnya saja untuk produk Pertamina yang diperdagangkan tadi pagi dengan harga Rp 69.900 per tCO2e. Di jam 11.00 saja harganya sudah naik menjadi Rp 77.000.

"Bisa turun bisa naik, jadi tergantung mekanisme pasar. Jadi kalau besok ada yang mau menjual di harga Rp 50.000 Rp 60.000, Rp 80.000, karena mereka sudah memiliki unit karbonnya, silahkan pasang di harga berapapun sesuai dengan mekanisme pasar," jelasnya.

4. Kabar Pajak Karbon

Ditemui usai peluncuran bursa karbon, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, saat ini pajak karbon masih terus dibahas oleh Kementerian Keuangan. Pembahasan terus dilakukan, paralel dengan aktivitas bursa karbon yang mulai dibuka hari ini.

"Itu lagi dihitung, tadi sama Pak Suahasil (Wakil Menteri Keuangan). Kita masih bicara. Semua ini masih paralel," kata Luhut, saat ditemui usai peluncuran bursa karbon di Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2023).

Sementara itu, Mahendra Siregar menjelaskan, keberadaan pajak karbon ini bukan bertujuan untuk mencari besaran potensi penerimaan pajak. Akan tetapi, perannya lebih kepada instrumen insentif dan disentif bagi para pihak yang kena pajak untuk memperoleh unit karbon pengurangan emisi.

"Apakah secara langsung dia memproduksinya atau membeli dari bursa atau dia bayar pajak. Jadi targetnya bukan penerimaan pajak itu sendiri. Beda dengan pajak lain. Ini yang buat pajak karbon unik sehingga perlu pendalaman dan penghitungan lebih rinci lagi," jelasnya.

"Jadi esensinya itu bukan revenuenya, beda dengan pajak lain yang memang targetnya pendapatan negara menjadi sumber belanja negara di APBN. Kalau ini justru dipakai sebagai instrumen insentif dan disinsentif supaya lebih banyak lagi perusahaan terutama yang memerlukan unit karbon pengurangan emisi," sambungnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga pernah menyebut kalau pajak karbon ditargetkan mulai berlaku pada 2025.

"Eropa minta 2025," kata Airlangga, saat ditemui di Shangri-La Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (24/8/2023).

Airlangga mengatakan, pajak karbon juga harus disesuaikan dengan carbon trading alias perdagangan karbon. Untuk itu, dibutuhkan penetapan insentif dan disinsentif.

(shc/das)

Hide Ads