Dolar AS Gencet Rupiah hingga 'Berdarah-darah', Ternyata Ini Biang Keroknya!

Dolar AS Gencet Rupiah hingga 'Berdarah-darah', Ternyata Ini Biang Keroknya!

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Selasa, 24 Okt 2023 06:00 WIB
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah kembali naik tinggi, mendekati Rp 15.300. Per siang ini pukul 14.45 WIB, dolar AS tercatat tembus ke level Rp 15.265.
Ilustrasi/Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Nilai tukar rupiah masih terus melemah terhadap dolar AS. Mata uang negeri Paman Sam bertengger di level nyaris Rp 16.000, tepatnya di Rp 15.930 pada penutupan perdagangan Senin (23/10).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan nilai tukar dolar AS menguat pesat karena didukung kebijakan kenaikan suku bunga tinggi yang terjadi dalam waktu lama di Amerika Serikat (AS).

Menurutnya, kebijakan suku bunga higher-for-longer yang dipraktikkan bank sentral AS, The Federal Reserve membuat banyak arus modal kembali masuk ke AS, baik dalam bentuk pembelian obligasi pemerintah maupun mata uang dolar AS.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita semua tahu fenomena global saat ini dengan Amerika Serikat yang hadapi inflasi yang cukup tertahan tinggi, dan kondisi ekonomi yang cukup kuat, mereka kemudian mengeluarkan signal atau paling tidak dibaca market, bahwa higher for longer itu akan terjadi dan ini yang sebabkan banyaknya capital flowing back to Amerika Serikat," ungkap Sri Mulyani usai melakukan rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2023).

Menurutnya, kebijakan AS itu yang membuat dolar AS menguat, bahkan di luar prediksi BI. Sri Mulyani menjabarkan mata uang dolar AS menguat sampai 106 poin, jauh di atas prediksi BI di 93 poin.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto menilai mata uang di seluruh Asia memang mayoritas sedang tergencet oleh dolar AS. Faktor penyebab utamanya adalah masih memanasnya konflik geopolitik di Timur Tengah. Perang antara Hamas-Israel belum menemui tanda-tanda mereda.

"Hari ini juga hampir semua mata uang Asia mengalami pelemahan terhadap Dolar AS. Faktor penyebabnya adalah konflik geopolitik Hamas-Israel yang masih terus memanas, dan belum ada tanda-tanda mereda, menyebabkan harga minyak tetap tinggi," kata Edi kepada detikcom.

Lalu pemerintah bisa apa? Sri Mulyani mengatakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan terus melakukan sinkronisasi kebijakan moneter dan fiskal. Pihaknya juga akan memantau ketat dampak nilai tukar terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

"Agar dalam situasi di mana pemacunya adalah negara seperti Amerika Serikat dampaknya ke ekonomi kita bisa dimitigasi dan diminimalkan. Baik terhadap nilai tukar, inflasi, maupun terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan. Itu yang terus kita lakukan insentif," pungkas Sri Mulyani.

BI akan mengawal ketat kondisi ini. Edi mengatakan intervensi pasar pasti akan dilakukan oleh pihaknya bila situasi makin gawat.

"Tentunya kami terus mengawal dengan masuk pasar baik di pasar spot maupun pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF)," beber Edi.

Analisis pengamat di halaman berikutnya.

Analisis Pengamat

Analis sepakat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS didorong kuat oleh faktor eksternal, alias kondisi ekonomi di luar negeri. Analis DFCX Futures Lukman Leong mengatakan faktor eksternal masih menjadi penyumbang tenaga dolar AS untuk menggencet Rupiah.

Menurutnya, rupiah melemah terhadap dolar AS disebabkan oleh naiknya imbal hasil obligasi AS dan kekhawatiran prospek suku bunga The Fed yang juga menguatkan mata uang negeri Paman Sam.

"Investor pun mengantisipasi data PDB AS minggu ini yang diperkirakan akan tumbuh kuat 4,2% serta data inflasi PCE AS. Investor juga mengantisipasi sikap hawkish dari Powell yang akan kembali berpidato minggu ini," ungkap Lukman kepada detikcom.

Selain itu, kekhawatiran terus memanasnya perang Israel-Hamas juga menjadi faktor pendorong penguatan dolar AS. Perang memicu kenaikan harga minyak mentah yang pada ujungnya mengerek nilai tukar dolar AS.

"Faktor lainnya yang juga berperan adalah kekuatiran akan eskalasi perang Israel-Hamas dan harga minyak mentah dunia yang kembali tinggi," beber Lukman.

Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra juga mengamini faktor eksternal menjadi pemicu utama dolar AS terus berjaya. Perang Israel-Hamas memicu pelaku pasar keluar dari aset berisiko dan beralih ke dolar AS sebagai safe haven.

"Kekhawatiran soal meluasnya konflik Israel-Hamas juga bisa mendorong pelaku pasar keluar dulu dari aset berisiko," ungkap Ariston kepada detikcom.


Hide Ads