Holding BUMN Farmasi PT Bio Farma (Persero) mencatatkan penurunan kinerja perusahaan pada tahun 2023 akibat tekanan dari segi profitabilitas. Rugi bersih tercatat menyentuh angka Rp 2,2 triliun, turun dari profit di tahun sebelumnya yang sebesar Rp 490 miliar.
Direktur Utama Bio Farma Shadiq Akasya mengatakan, kerugian tersebut paling besar disumbang oleh kinerja anggotanya, yakni PT Kimia Farma Tbk dan PT Indofarma Tbk. Adapun Kimia Farma mencatatkan kerugian sebesar Rp 1,8 triliun dan Indofarma Rp 605 miliar.
"Net income dibuka negatif prediksi sampai 2023 masih unaudited Rp 2,2 triliun dari Rp 490 miliar pada 2022 dengan rugi terbesar Kimia Farma sekitar Rp 1,8 triliun dan INAF Rp 605 miliar. Sedangkan Bio Farma operation masih membukukan laba bersih positif Rp 304 miliar," kata Shadiq, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang masih unaudited. Tercatat, pendapatan holding BUMN Farmasi pada 2023 turun menjadi Rp 15,2 triliun dibanding tahun 2022 yang sebesar Rp 21,2 triliun. Artinya ada penurunan sekitar 28%.
Lebih lanjut Shadiq merinci, Kimia Farma masih menyumbang pendapatan terbesar sebesar Rp 9,9 triliun, Bio Farma operation Rp 5 triliun, dan Indofarma Rp 524 miliar. Secara masing-masing, pendapatan Bio Farma didominasi capaian ekspor sebesar Rp 2,8 triliun, lalu penjualan ke swasta Rp 1,1 triliun dan pemerintah Rp 1,2 triliun. Serta ada distribusi jasa Rp 32 miliar.
"Pendapatan naik Rp 9,9 triliun, naik Rp 700 miliar atau 7,9% dari pendapatan 2022 sebesar Rp 9,2 triliun. Pendapatan tersebut didominasi ritel 40%, yaitu dari Kimia Farma Apotek, kemudian distribusi 38%, dan manufaktur 23%," sebutnya.
Di sisi lain, Bio Farma mencatatkan penurunan laba menjadi Rp 304 miliar pada 2023 dari sebelumnya Rp 1 triliun di 2022. Menurutnya, salah satu penyebab menurunnya kinerja Bio Farma adalah tidak ada lagi penjualan produk COVID-19 pada 2023.
Ia menjelaskan, Kimia Farma mengalami penurunan kinerja dari target yang dipasang, disebabkan utilisasi manufaktur yang rencah, inefisiensi operasional yang belum optimal, dan belum optimalnya portofolio produk.
"Net income menurun dari minus Rp 126 menjadi (minus) Rp 1,82 triliun, karena adanya peningkatan beban keuangan dari Rp 525 miliar menjadi Rp 622 miliar," ujar dia.
(shc/kil)