Hanif memaparkan hasil utama COP29 yang diselenggarakan di Azerbaijan diperkenalkan sebagai sebutan Baku Climate Unity Pact. Salah satunya adalah memuat beberapa isu utama yakni New Collective Quantified Goals atau NCQG, yang merupakan komitmen pendanaan perubahan iklim baru yang disepakati berbagai negara.
Soal NCQG yang menjadi komitmen pendanaan iklim baru untuk negara berkembang, Hanif bilang jumlahnya ditetapkan hingga US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.770 triliun hingga 2035. Jumlah itu tiga kali lipat lebih besar dari komitmen sebelumnya.
"Dari sisi quantum-nya, ditetapkan untuk NCQG adalah US$ 300 miliar per tahun pada 2035," sebut Hanif dalam sosialisasi hasil COP 29 di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2024).
Hanif mengatakan jumlah yang ditetapkan itu sebetulnya masih jauh dari kebutuhan negara berkembang. Kebutuhan pendanaan iklim sebetulnya mencapai US$ 1,3 triliun atau mencapai Rp 20.670 triliun. Beberapa negara, termasuk India, bahkan disebut Hanif menolak keputusan pendanaan iklim tersebut.
"Jumlah ini relatif masih jauh dari kebutuhan scaling up pendanaan untuk aksi iklim negara berkembang senilai US$ 1,3 triliun per tahun pada 2035. Selain kuantum, sumber dan lingkup NCQG juga belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan negara berkembang," sebut Hanif.
"Kita juga mengetahui bahwa pada sesi pleno terakhir, India, dan kelompok beberapa kelompok negara secara resmi menyatakan reservasi penolakan terhadap keputusan ini," lanjutnya.
Selain pendanaan, ada juga penguatan komitmen mitigasi perubahan iklim atau Sharm el-Sheikh Mitigation Ambition and Implementation Work Program, penguatan komitmen adaptasi perubahan iklim global atau Global Goal on Adaptation.
Hasil lainnya adalah kesepakatan Article 6 of the Paris Agreement mengenai Cooperative Mechanism (Mekanisme Kerjasama) untuk mendukung pemenuhan NDC. Indonesia, kata Hanif, menyambut baik mengenai hasil keputusan tersebut yang memadai dalam operasionalisasi teknis Article 6 khususnya bagi implementasi perdagangan karbon internasional.
"Indonesia akan mengoptimalkan peluang perdagangan karbon, dengan tetap mengantisipasi potensi terjadinya junk credit melalui penguatan mekanisme kendali nasional dan mengikuti proses di UNFCCC," sebut Hanif.
(acd/acd)