Pemerintah terpilih diharapkan mampu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Menurut Fauzi Ichsan, Ekonom Standard Chartered Bank, sebaiknya harga BBM bersubsidi dinaikkan dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 9.000 per liter.
Besaran kenaikan ini merujuk pada selisih harga beli minyak di tingkat internasional yang mencapai Rp 11.500 per liter, sementara pemerintah menjualnya di dalam negeri hanya di harga Rp 6.500 per liter.
"Kita impor BBM Rp 11.500 per liter harga internasional, dijual di sini Rp 6.500, ada selisih harga sekitar 45%. Selisih ini dibiayai pemerintah," tegas Fauzi saat ditemui di Hotel JW Marriot, Jakarta, Rabu (23/7/2014) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, opsi menaikkan harga BBM merupakan langkah nyata untuk bisa menekan angka defisit anggaran. Bahkan, dia menilai sebaiknya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan harga pada Agustus atau September sehingga tidak mewariskan anggaran yang berdarah-darah kepada pemerintahan berikutnya.
"Kalau harga BBM tidak naik, defisit bisa melewati 2,5% bahkan 3% dari PDB (produk domestik bruto) sehingga untuk mendanai proyek infrastruktur akan kesulitan. Bahkan ada wacana Pak SBY mau naikkan harga BBM Agustus or September supaya APBN yang diberikan ke Pak Jokowi tidak begitu berat," paparnya.
Menurut Fauzi, kenaikan harga BBM paling tidak bisa diterapkan kuartal II-2015. Namun, dia menggarisbawahi bahwa pemerintah harus bersiap dengan dampak dari kebijakan tersebut.
"Akan ada dampak. Kemarin yang naik 44% itu paling dampaknya dalam 3 bulan hilang, mereka dengan sendirinya melakukan adjustment. Inflasi bisa naik 8% tapi akan normal lagi, efek hanya 3 bulan," jelasnya. (drk/hds)