Hampir 2 tahun pria berumur 58 tahun ini memimpin BUMN listrik tersebut. Dia mengakui banyak tantangan yang dihadapi, terutama adalah melakukan efisiensi keuangan pada PLN.
"Saya sudah 10 tahun lebih menjadi bankir dan tidak ada materi yang saya kejar lagi. Sekarang adalah bagaimana membuat PLN baik bagi masyarakat," kata Sofyan saat bertemu dengan sejumlah redaktur media massa, di Ruang Bhimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin malam (27/6/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pengawal program 35.000 MW, Sofyan mengatakan, dirinya tidak ingin kesalahan masa lalu terulang lagi, yaitu adanya pembangkit listrik yang mangkrak atau bahkan izin pembangunan pembangkit diperjualbelikan.
Dia mensyaratkan untuk pengusaha memegang proyek pembangkit dan akan menandatangani perjanjian jual-beli (Power Purchase Agreement/PPA), harus memiliki uang 10% dari nilai kontrak pembangkit yang disimpan di rekeningnya pada bank di Indonesia.
"Ini mencegah supaya ada yang mangkrak dan main-main dengan proyek listrik. Juga mencegah ada kontrak yang diperjualbelikan. Jadi kalau 6-12 bulan tidak dibangun, maka bank garansi 10% hilang," ujar Sofyan.
Pada kesempatan itu, Sofyan menceritakan soal tekadnya untuk menjadikan PLN BUMN yang besar, seperti dia membesarkan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI).
"Sekarang BRI dari bank desa menjadi bank dengan aset menembus Rp 1.000 triliun, bank untung terbesar dan ATM terbanyak di Indonesia, dan bahkan sudah memiliki satelit sendiri. Dulu saya memang bertekad membawa BRI memiliki aset Rp 1.000 triliun lebih," ungkapnya.
"Saya juga punya tekad untuk membesarkan PLN. Saya bertekad rasio elektrifikasi meningkat, dan di 2019 bisa menurunkan tarif untuk industri. Kalau itu sudah berjalan, berarti PLN sudah baik dan sehat, serta tidak perlu subsidi lagi," papar Sofyan. (wdl/hns)