Proyek kilang senilai US$ 14 miliar dengan kapasitas 300.000 barel per hari (bph) ini ditargetkan selesai 2023. Kementerian ESDM ingin pembangunan GRR Bontang bisa dikebut, maka dicari skema yang paling pas.
"Semuanya masih sedang dalam pembahasan. Kita masih baru bahas, akan kita pilih mana skema yang terbaik," kata Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (10/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan skema KPBU, pemerintah bisa berkontrak dengan perusahaan swasta nasional atau asing yang mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan pembangunan. Setelah pembangunan, masa konsesi untuk swasta berlangsung selama 30 tahun, setelah itu kilang menjadi milik pemerintah.
Sementara skema penugasan khusus menyerahkan pembangunan kilang pada Pertamina. Pertamina bebas memilih partner strategis untuk membentuk Joint Venture (JV) dalam pembangunan kilang.
Direktur Pengolahan Pertamina, Rachmad Hardadi, berpendapat proyek GRR Bontang bisa lebih cepat kalau menggunakan skema penugasan khusus. Sebab, perizinan yang perlu diurus dalam skema KPBU lebih berbelit-belit. Pertamina juga bisa bergerak lebih cepat kalau diberi penugasan khusus.
Selain itu, jika menggunakan skema KPBU, Pertamina hanya menjadi penanggung jawab proyek GRR Bontang, tapi tidak ikut terlibat dalam pembangunannya, dan tidak ada kepemilikan Pertamina.
Salah satu perusahaan yang berpeluang untuk digandeng Pertamina untuk membangun kilang Bontang adalah National Iranian Oil Company (NIOC). Saat Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, ke Iran pada Senin (8/8/2016) kemarin, BUMN perminyakan Iran itu sudah menyatakan minatnya menggarap GRR Bontang. (wdl/wdl)