Harga Gas di Hulu US$ 5/MMbtu, Tapi Industri Harus Beli US$ 10/MMbtu

Harga Gas di Hulu US$ 5/MMbtu, Tapi Industri Harus Beli US$ 10/MMbtu

Michael Agustinus - detikFinance
Selasa, 30 Agu 2016 14:37 WIB
Foto: Gas
Jakarta - Mahalnya harga gas bumi untuk industri di dalam negeri sedang menjadi sorotan. Para pengusaha tekstil dan produk tekstil mengadu pada Menteri Perindustrian, Airlangga Hartato, karena merasa tercekik oleh harga gas.

Rata-rata harga gas untuk industri di dalam negeri saat ini US$ 8-10/MMbtu, sangat tidak ideal. Sebagai pembanding, harga gas industri di Singapura sekitar US$ 4-5 per MMbtu, Malaysia US$ 4,47 per MMbtu, Filipina US$ 5,43 per MMbtu, dan Vietnam sekitar US$ 7,5 per MMbtu.

Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, mengungkapkan rata-rata harga gas di hulu sekarang US$ 4-5/MMbtu, separuh dari harga di hilir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau dari hulu sebenarnya dengan rata-rata harga minyak US$ 40/barel itu bisa US$ 4-5/MMbtu," kata Djoko, saat ditemui di Hotel Raffles, Jakarta, Selasa (30/8/2016).

Lalu mengapa ketika sampai di pembeli akhir, yakni industri dan pembangkit listrik, harganya naik 2 kali lipat?

Djoko menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga gas menjadi mahal di hilir. Ada gas yang jadi mahal karena harus diolah dulu menjadi gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) lalu dikapalkan ke tempat yang jauh dari sumber gas.

"Kalau gas pipa (CNG/Compressed Natural Gas) bisa murah. Kan ada gas pipa, ada yang berbentuk LNG. Tentunya kalau LNG dia harus diproses dulu, ditransportasikan pakai kapal, kemudian dijadikan gas lagi," ujarnya.

Ada juga gas yang mahal karena berasal dari lapangan gas di lepas pantai (offshore), di laut dalam. "Sumber gasnya di onshore atau di offshore. Kalau di offshore jadi lebih mahal. Lihat sumurnya juga, di situ membuat perbedaan," tutur Djoko.

Selain itu, ada pula gas yang mahal karena memiliki tingkat kandungan CO2 dan H2S yang tinggi. Untuk memisahkan CO2 dan H2S, perlu investasi alat-alat berteknologi tinggi.

"Kalau gasnya kotor, banyak mengandung CO2, mengandung H2S, itu harus investasi alat lagi supaya gas yang dialirkan ke industri sudah bersih. Ini membuat mahal. Seperti di Natuna, itu kan CO2-nya sampai 70%. Kita harus investasi alat, itu yang membuat mahal," Djoko menerangkan.

Pemerintah, kata Djoko, saat ini sedang mencari cara agar harga gas bumi di Sumut bisa turun. Misalnya dengan memangkas toll fee, ongkos regasifikasi, dan penurunan harga gas di hulu.

"Ini lagi kita lihat lagi, mana yang bisa dipangkas. Toll fee sudah bisa kita lihat, biaya regasifikasi bisa kita lihat, biaya transportasi bisa kita lihat, margin juga. Di hulu juga sedang kita hitung. Kalau kita kurang 10% masing-masing saja bisa di bawah US$ 10/MMbtu," cetusnya.

Penurunan harga di hulu akan diambil dari pengurangan pendapatan bagian pemerintah. Juga pengurangan pajak-pajak di hulu. "Di hulu government take kita kurangi atau split-nya. Kemudian tax insentive kita berikan. Baru bisa turun," kata Djoko.

Kementerian ESDM juga masih menunggu rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk pemberian insentif diskon harga gas. "Kita harus menunggu rekomendasi dulu dari Kementerian Perindustrian, industri mana saja yang direkomendasikan turun harga gasnya," tutupnya. (wdl/wdl)

Hide Ads