Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G Ismy, menuturkan biasanya pengusaha tekstil harus membeli gas dari trader. Panjangnya rantai pasokan gas dari sumbernya hingga sampai ke industri inilah yang membuat harganya jadi mahal.
"Kami banyak beli dari trader, dari PGN juga ada tapi jarang," kata Ernov saat dihubungi detikFinance di Jakarta, Jumat (3/9/2016).
Ernov mengungkapkan, ada biaya-biaya tambahan yang dikenakan oleh trader. Ini membuat harga gas jadi tinggi sekali. "Jadi biasanya selain harga gas ada tambahan-tambahan biaya lain," ucapnya.
Mahalnya harga gas ini membuat industri tekstil Indonesia sulit bersaing dengan industri tekstil di negara-negara tetangga. Dari komponen biaya energi saja, Indonesia sudah kalah efisien sampai 50% atau lebih.
Sebagai pembanding, harga gas industri di Singapura sekitar US$ 4-5 per MMbtu, Malaysia US$ 4,47 per MMbtu, Filipina US$ 5,43 per MMbtu, dan Vietnam sekitar US$ 7,5 per MMbtu.
Pihaknya merasa heran, negara yang tak punya gas seperti Singapura saja industrinya membeli gas dengan harga US$ 4/MMbtu.
"Kita jadi kalah bersaing ini karena gas lebih mahal. Padahal kita yang punya sumber gasnya," tutupnya.
Sebagai informasi, ada sekitar 60 perusahaan trader gas di Indonesia, tapi hampir semuanya tak punya infrastruktur, hanya bertindak sebagai calo pemburu rente saja tanpa modal.
Mereka mendapat alokasi gas, lalu menjualnya ke trader lain karena tak punya pipa untuk menyalurkan gas, dan begitu seterusnya hingga ke pembeli akhir. Trader ini membuat rantai pasokan gas menjadi panjang, harga gas di Indonesia menjadi tidak efisien. (wdl/wdl)