Sebagai salah satu upayanya, Pertamina baru saja menandatangani Nota Kesepahaman dengan Sonatrach, perusahaan minyak nasional Aljazair, untuk menambah aset di negara tersebut.
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengungkapkan bukan hanya Aljazair saja yang dibidik, pihaknya juga mengincar cadangan di negara-negara kaya minyak lainnya, di antaranya adalah Irak, Iran, dan Rusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Produksi migas Pertamina dari luar negeri yang saat ini sekitar 120.000 barel setara minyak per hari (barel oil equivalent per day/boepd), akan digenjot hingga 700.000 boepd pada 2025 alias hampir 6 kali lipat dari sekarang.
Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam, menambahkan pencarian migas diprioritaskan ke negara-negara yang mengizinkan Pertamina membawa pulang hasil produksi ke Indonesia.
"Prinsipnya kami ingin membawa minyak mentah ke Indonesia. Jadi negara-negara yang kontraknya memungkinkan kami membawa pulang ke dalam negeri, itu menjadi prioritas," kata Alam.
Hal itu menjadi pertimbangan utama, karena ekspansi Pertamina ke luar negeri tujuan utamanya adalah menjaga ketahanan energi nasional, bukan semata mencari keuntungan untuk perusahaan.
"Apakah kami bisa bawa pulang minyaknya ke Indonesia? Kan kami ke sana bukan cuma nyari duit, tapi nyari aset yang bisa dibawa pulang," ujarnya.
Kemudian pertimbangan penting lainnya adalah dukungan dari pemerintah setempat. Contohnya Aljazair, negara ini hubungan bilateralnya dengan Indonesia sangat baik, sehingga Pertamina bisa mendapat 'karpet merah'.
"Kami harus nyari negara-negara yang secara geopolitik memberi kemudahan kami dalam operasional. Kalau pemerintahnya nggak support, nggak peduli kalau kita ada masalah kan repot. Kenapa Aljazair jadi target? Karena pemerintahan mereka luar biasa dukungannya ke Indonesia," pungkasnya. (wdl/wdl)