Curhat Bos Vale Indonesia Soal Bisnis Nikel di RI

Curhat Bos Vale Indonesia Soal Bisnis Nikel di RI

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Jumat, 16 Des 2016 15:37 WIB
Foto: Eduardo Simorangkir
Sorowako - Harga nikel diprediksi membaik lantaran penurunan persediaan nikel global yang disebabkan oleh beberapa tambang dan pabrik nikel dunia menghentikan produksinya karena ketidaklayakan ekonomi.

Namun, kebijakan pemerintah RI pun dipercaya akan berpengaruh pada harga jual nikel tahun depan. Pasalnya Indonesia merupakan salah satu pemasok terbesar nikel dunia. Ketidakpastian dari segi peraturan dan hingga batas tertentu, kebijakan mengenai royalti, serta fiskal menjadi penghalang utama investasi yang kian surut saat ini.

Misalnya saja dalam hal perpanjangan Kontrak Karya Kerjasama (K3S). Di satu sisi pemerintah menginginkan adanya divestasi yang masuk dari investor, namun kebijakan pemerintah kerap menghalangi investor dalam hal melakukan perpanjangan kontrak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi memang negosiasi itu pelik. Negosiasi tidak mudah. Satu sisi investor maunya harus diperpanjang, di sisi lain pemerintah maunya berjalan di dalam kebijakan dia. Ini yang nggak ketemu. Pemerintah pun akan kesulitan untuk menyetujui," ujar Direktur Utama PT Vale Indonesia Tbk, Nico Kanter, saat berbincang dengan media di Sorowako, Sulawesi Selatan, Kamis (15/12/2016).

Hal ini ditambah lagi ketika perusahaan pertambangan berupaya meningkatkan efisiensi operasi serta produktivitas, dan membatasi belanja modal guna melakukan recovery saat harga komoditas berada pada titik yang rendah.

"Sekarang yang musti kita buat adalah bagaimana kita mensustain itu. Karena supaya kalau harganya pun naik, kita juga nggak boleh terlena dengan harganya naik. Karena kita harus menyimpan cash yang cukup untuk investasi kita. Supaya kita kurangi apa yang kita pinjam-pinjam," ucap Nico.

Isu lain yang menjadi kendala bagi iklim investasi pertambangan di Indonesia adalah ketidakpastian hukum, tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Kehutanan. Semua ini tentu sangat mempengaruhi bisnis pertambangan di Indonesia.

Misalnya saja rencana pemerintah dalam melakukan relaksasi ekspor konsentrat dan beberapa jenis mineral mentah yang belum diolah sama sekali. Hal ini akan mempengaruhi harga di pasar global.

"Ini lah kenapa kemarin saya ngotot banget (menolak) relaksasi. Seramnya kan yang dibaca oleh dunia. Karena menurut saya outlook dari nikel itu faktor yang paling pentingnya adalah mengenai harga. Harga nikel ini berpengaruh besar dari kebijakan yang diambil dari pemerintah Indonesia," tutur dia.

"Karena ini juga kan berkaitan dengan kebijakan Filipina, itu juga berdampak. Lalu kebijakan pemerintah RI juga. Karena untuk nikel, kita bisa memegang global market 30%. Artinya kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah akan berdampak kepada dunia," jelasnya.

Harga nikel yang membaik sendiri akan didorong oleh beberapa faktor. Diantaranya perbaikan ekonomi China dan penutupan sejumlah perusahaan tambang Filipina, yang selama ini juga menjadi pemasok nikel global. Namun kebijakan pemerintah yang akan membuka keran ekspor tambang mentah cukup diwaspadai oleh para perusahaan tambang dalam negeri saat ini.

"Jadi tantangannya ya uncertainty dari aturan dan kebijakan yang ada. Kemudian perizinan-perizinan. Karena tantangannya itu yang dalam outlook ada di harga. Karena animo investor di bidang nikel saya lihat perkembangannya cukup baik," tandas Nico. (dna/dna)

Hide Ads