Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengatakan, skema gross split memberikan fleksibilitas pengurusan administrasi lebih cepat dan bagi hasil yang menarik bagi pelaku usaha di sektor migas.
Pasalnya, gross split menggunakan mekanisme bagi hasil di awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. Besarannya untuk minyak bumi sebesar 57% untuk negara dan 43% untuk kontraktor, dan gas bumi 52% untuk negara dan 48% untuk kontraktor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Skema gross split tertuang pada Peraturan Menteri (Permen) Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang telah diundangkan pada 16 Januari 2017.
"Pertama saya apresiasi pemerintah, dan menjawab sebenarnya banyak sebagian tantangan di industri hulu migas, karena bagi kontrak habis tapi cadangan dan produksi masih ada ini menjadi menarik, tinggal splitnya berapa," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Energi dari ReforMiner Komaidi Notonegoro menilai, skema gross split masih belum konsisten untuk diterapkan.
Pasalnya, masih terdapat beberapa variabel yang menjadi celah untuk dinegosiasikan atau menjadi celah perdebatan antara pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), seperti penggunaan TKDN, pembangunan infrastruktur di daerah, hingga pengenaan pajak.
"Jadi kemudian tujuan mekanisme untuk memudahkan administrasi saya kira perlu dipertanyakan kembali apa dibandingkan PSC regular," kata Komaidi.
Komaidi menyebutkan, level payung hukum skema gross split juga seharusnya lebih tinggi dari Permen, bisa berbentuk PP ataupun UU.
"Karena regulasi ditataran hulu migas, aspek perpajakan kan domain Kemenkeu, Permen tadi tidak memiliki kekuatan untuk perpajakan, sehingga harus dibahas lebih lanjut, begitu juga soal wilayah hutan yang terkena pemanfaatan, saya kira minimal PP, apalagi di dalam UU. Ini perpajakannya gmna ? Ini yang tidak konsisten," jelasnya. (mkj/mkj)