Menurut Kementerian ESDM, selama ini PLN menanggung risiko lebih besar dalam kontrak jual beli listrik. Maka perlu dibuat ketentuan baru agar setara.
"Permen ESDM 10/2017 diterbitkan maksudnya adalah supaya ada kesetaraan risiko antara penjual, dalam hal ini IPP, dengan PLN sebagai pembeli. Selama ini belum setara," kata Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (2/2/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mekanisme Delivery Or Pay adalah kebalikan dari Take Or Pay. Jika Take Or Pay mewajibkan PLN menyerap listrik dari IPP dalam jumlah minimal sekian persen dari kapasitas total pembangkit listrik, Delivery Or Pay mewajibkan IPP memasok listrik ke PLN dalam jumlah tertentu.
Misalkan kapasitas pembangkit 100 MW, ada ketentuan Delivery Or Pay 80%, maka pembangkit milik IPP harus terus memasok ke PLN minimal 80 MW. Kalau pembangkit terganggu karena kesalahan IPP, misalnya karena kualitas mesin pembangkit yang tidak sesuai standar, maka IPP harus membayar denda kepada PLN.
Besarnya denda ditentukan dalam PPA, disepakati bersama secara business to business (B to B) antara PLN dengan IPP.
"Ada mekanisme Delivery Or Pay. Dalam hal penjual tidak dapat mengirimkan energi listrik sesuai kontrak karena kesalahan penjual, maka penjual wajib membayar penalti kepada PLN," papar Jarman.
Sebaliknya PLN juga didenda kalau membeli listrik di bawah Availability Factor yang telah ditetapkan dalam PPA. Sebagai gambaran, andaikan kapasitas pembangkit 100 MW, Availability Factor 80%, maka PLN harus membeli setidaknya 80 MW. Kalau tak mampu menyerap hingga 80 MW, PLN harus membayar denda Take Or Pay kepada IPP.
"Mengenai transaksi, PLN wajib membeli sesuai Availability Factor atau Capacity Factor. Kalau PLN tidak bisa membeli sesuai kontrak, PLN harus membayar Take Or Pay. Jadi ada Take Or Pay, ada Delivery Or Pay. Ini kesetaraan buat penjual dan pembeli," tandas Jarman.
Adanya mekanisme Delivery Or Pay ini juga mencegah IPP 'abal-abal' ikut tender di program 35.000 MW maupun lelang proyek-proyek pembangkit lainnya yang dilaksanakan oleh PLN. Sebab, dengan adanya denda Delivery Or Pay, IPP mau tak mau harus menjaga kualitas pembangkit listrik.
Kalau kualitas pembangkitnya buruk, sering gangguan dan pemadaman, IPP bakal rugi besar. Jadi keandalan listrik terjaga, pasokan listrik untuk masyarakat terjamin.
"Ini memberi payung hukum agar pembangkit yang masuk sistem itu memenuhi keandalan. Sekarang ada pembangkit IPP yang tidak memenuhi keandalan, sering padam," tandas Jarman.
Mekanisme Delivery Or Pay diberlakukan untuk hampir semua jenis pembangkit listrik, kecuali pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas di bawah 10 MW, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang produksi listriknya naik turun bergantung pada kondisi alam.
"Permen ini mengatur seluruh pembangkit, termasuk PLTP (panas bumi), PLTA (air), PLTBm (biomassa) tapi tidak termasuk PLTB, PLTA di bawah 10 MW, dan PLTS," tutupnya. (mca/dna)