Sidang DEN ke-21 ini membahas sejumlah isu seperti Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), komitmen kementerian/lembaga terkait dalam pelaksanaan kebijakan RUEN, dan program pembinaan penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi oleh DEN dan Kementerian ESDM.
Dalam sidang juga disinggung soal dampak dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 (Permen ESDM 12/2017) terhadap pengembangan energi terbarukan. Permen ini membatasi harga jual listrik dari energi terbarukan ke PLN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Jonan Buat Patokan Tarif Energi Terbarukan
Anggota DEN, Tumiran, mengungkapkan patokan harga tersebut membuat pengembangan EBT di daerah-daerah yang BPP-nya rendah mengalami perlambatan.
"Dalam sidang disinggung juga soal Permen ESDM 12/2017. Tadi dilaporkan bagaimana impact dan tanggapan stakeholder terhadap Permen tersebut. Tidak semua daerah tentu bisa diimplementasikan untuk menuju keekonomian," kata Tumiran dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Di daerah yang BPP listriknya rendah, misalnya Sumatera Selatan yang banyak menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, tentu EBT sulit berkembang. Patokan harga yang dibuat kurang ekonomis di daerah seperti ini.
Atau di Jakarta, pengembangan EBT juga pasti tak ekonomis karena biaya investasi yang dibutuhkan tinggi, sementara patokan tarifnya murah karena BPP sudah rendah.
Meski demikian, EBT masih sangat ekonomis untuk dikembangkan di Indonesia Timur yang BPP listriknya tinggi akibat banyaknya penggunaan PLTD berbahan bakar solar.
"Yang mungkin bisa didorong yang BPP-nya tinggi. Kalau yang sudah rendah seperti Sumsel, pembangkit tenaga matahari berkompetisi sama batu bara sangat sulit. Di Jakarta, lahan saja sudah mahal, tentu sangat sulit, kecuali dijalankan dengan skema bisnis lain, seperti PLTS rooftop," tukasnya.
Baca juga: RI Kembangkan Energi Baru Terbarukan Agar Dapat Listrik Murah
Anggota DEN lainnya, Rinaldy Dalimi, menambahkan Permen ESDM 12/2017 mendorong para pengembang energi terbarukan untuk berinovasi, membuat biaya produksi listrik semakin efisien.
"Acuan harga jual IPP ke PLN sekarang diubah Permen ESDM 12/2017. Perubahan ini mengakibatkan pada sisi investor ada penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan, terutama biaya produksi. Investor harus lebih efisien. Banyak peluang untuk lebih efisien, misalnya IRR diperkecil, depresiasi diperpanjang. Upaya-upaya itu sudah dilakukan investor," katanya.
Pengembangan energi terbarukan di daerah-daerah seperti Jawa dan Sumatera yang memiliki BPP rendah memang akan terganggu. Tapi di daerah lain energi terbarukan bisa berkembang lebih cepat.
"Pada tahap awal, daerah-daerah yang biaya produksi listriknya sudah rendah memang ada masalah. Tapi untuk yang BPP-nya tinggi di luar Jawa, pembangunan EBT akan lebih besar dibanding sebelumnya," tukasnya.
Ia menyimpulkan, Permen ESDM 12/2017 membuat pengembangan energi terbarukan melambat di tempat-tempat tertentu seperti Jawa dan Sumatera, tapi di Indonesia Timur bisa lebih cepat.
"Di daerah yang satu terjadi perlambatan, di daerah lain lebih cepat," tutupnya. (mca/hns)











































