Irfan mengatakan, meski belum ada keputusan pengelolaan Geothermal Ciremai namun pihaknya sudah menyiapkan serangkaian program kerja untuk mengelola potensi alam yang berada di kawasan hutan konservasi tersebut.
"Kita sudah punya sedikit review untuk panas bumi di Ciremai. Namun demikian perlu diperdalam. Intinya kita siap (mengelola)," ucapnya saat ditemui detikFinance di salah satu tempat makan di Kota Cirebon, Selasa (11/4/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi itu baru data awal harus dibuktikan langsung. Nanti bisa lebih besar atau lebih kecil," katanya.
Pihaknya memastikan, pengelolaan panas bumi tidak akan merusak hutan konservasi karena pemanfaatan hanya membutuhkan lahan seluas 26 hektar pada tahap awal. Namun jika pemanfaatan sudah berjalan hanya dibutuhkan sekitar 5x6 meter untuk penempatan sumur bor.
Tidak hanya itu, pemanfaatan panas bumi mengharuskan daerah sekitarnya tetap hijau. Sehingga nantinya kawasan tersebut akan dibuat lebih hijau dari sebelum pemanfaatan.
"Ini berbeda dengan pemanfaatan minyak bumi atau batu bara yang bisa babad habis lahan. Untuk panas bumi tidak butuh luas," tuturnya.
Bahkan, lanjut Irfan, pemanfaatan panas bumi bisa berkembang menjadi kawasan wisata seperti Kawah Kamojang atau daerah Ulu-ulu, Lampung yang kini akan menjadi pilot project antaran Pertamina dengan Kementerian Pariwisata.
Lebih lanjut Irfan mengatakan, Pertamina sudah memiliki pengalaman untuk menghindari masalah sosial seperti yang dikeluhkan Chevron hingga melepas Geothermal Ciremai ke pemerintah.
"Pertamina sudah punya kompetensi untuk masalah sosial, itu kita harus luruskan. Intinya kita edukasi bahwa panas bumi ini adalah energi yang terbarukan, anugerah dari tuhan yang harus dimanfaatkan sebagai kearifan lokal," pungkas Irfan. (ang/ang)