Pakai Teknologi Ini, PLTU 'Raksasa' di Cirebon Minim Polusi

Pakai Teknologi Ini, PLTU 'Raksasa' di Cirebon Minim Polusi

Dana Aditiasari - detikFinance
Rabu, 24 Mei 2017 10:40 WIB
Foto: Dina Rayanti
Jakarta - Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon II sebagai bagian dari mega proyek pembangkit listrik 35.000 Mega Watt bakal dipercepat pembangunannya. Percepatan proyek itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016.

Sama dengan PLTU lainnya, proyek ini juga dihadapkan pada isu lingkungan. Biang masalahnya adalah penggunaan batu bara sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap panas penggerak turbin listrik. Penggunaan batu bara dinilai tidak ramah lingkungan, karena polusi yang dihasilkannya.

Namun, saat ini sebenarnya sudah tersedia solusi untuk mengatasi masalah polusi tersebut. Sekarang, ada yang teknologi ultracritical yang membuat PLTU bisa beroperasi dengan lebih efisien. Teknologi ini sangat efisien dalam konsumsi batubara, dan lebih sedikit emisinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti Senior BPPT Kardono mengatakan, pembangkit listrik berteknologi ultracritical bisa menghemat konsumsi batubara 46%, sedangkan pembangkit konvensional hanya 30%.

Dengan demikian, maka emisi atau polusi hasil pembakaran batu bara juga bisa dikurangi signifikan.

"Teknologi ultracritical bisa menghasilkan energi yang lebih besar dengan konsumsi batubara yang sama dengan konvensional. Dari sisi output, tidak banyak menghasilkan gas emisi," terangnya.

Dengan konsumsi batu bara yang lebih minim, penggunaan teknologi ini juga memberikan keuntungan secara ekonomi bagi pengelolanya.

"Dari sisi bisnis, justru menguntungkan karena lebih efisien dan ramah lingkungan. Kalau masih pakai cara konvesional justru akan menimbulkan masalah sosial dan lingkungan nantinya," beber Kardono.

Teknologi ini pula yang digunakan dalam Proyek Pembangunan PLTU Cirebon II. Presiden Direktur Cirebon Energi Prasarana Heru Dewanto mengatakan, dalam teknologi ultracritical, pelepasan gas emisi senantiasa dimonitoring secara berkesinambungan lewat stasiun pemantau dengan Monitoring Environment Management System.

"Dengan demikian, kualitas udara bisa terpantau, apakah masih dalam abang batas aman atau telah terjadi pencemaran," sambung dia.

Sebagai gambaran, sesuai ketentuan ambang batas aman oksida sulfur (SOx) adalah 750 mg/mn3, sedangkan di PLTU Cirebon levelnya gas emisinya hanya 83,7 mg/mn3 karena pembangkitnya menggunakan ultracritical.

Begitu pula untuk unsur nitrogen oksida (NOx) yang sesuai aturan 750 mg/mn3, untuk PLTU Cirebon hanya 219 mg/mn3.

PLTU Cirebon Unit II merupakan satu dari proyek 35.000 MW. Proyek listrik 35.000 MW punya arti penting bagi pembangunan di tanah air. Kebutuhan listrik di Indonesia terus meningkat. Pada 2017, kebutuhan energi listrik diperkirakan mencapai 234 TWh. Sedangkan pada 2026 nanti, kebutuhan energi listrik melonjak dan diproyeksikan mencapai 480 TWh.

Untuk mengimbangi kebutuhan energi listrik yang tinggi tersebut, pemerintah menggenjot megaproyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 Mega Watt agar mampu memasok listrik sesuai kebutuhan. (dna/dna)

Hide Ads