Delapan blok terminasi yang diserahkan pada Pertamina itu adalah Blok Tuban, Blok Ogan Komering, Blok Sanga-Sanga, Blok South East Sumatera (SES), Blok NSO, Blok B, Blok Tengah, dan Blok East Kalimantan.
Rencananya mulai 2018 nanti, Pertamina akan menjadi kontraktor baru di 8 blok itu. Kontrak bagi produksi (Production Sharing Contract/PSC) di semua blok tersebut tak akan lagi menggunakan skema cost recovery, tapi memakai skema gross split.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah melakukan evaluasi, Pertamina mengirimkan surat ke Kementerian ESDM pada 22 Juni 2017 kemarin. Dalam surat tersebut, Pertamina menyatakan bersedia menggarap 7 blok terminasi, dan meminta 1 blok terminasi dibahas lebih lanjut.
"Blok terminasi, sore kemarin kita kirim surat. Dari 8, ada 1 yang kita minta evaluasi," kata Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam, kepada detikFinance, Jumat (23/6/2017).
Alam enggan menyebutkan blok mana yang perlu evaluasi lebih lanjut. Saat ditanya apakah itu Blok East Kalimantan, Alam tak membantah atau pun membenarkan. "Kira-kira yang mana lah, bisa ditebak," ujarnya.
Untuk 7 blok terminasi lainnya, Pertamina bersedia menandatangani PSC dengan skema gross split, masih ekonomis untuk dikelola. "Enggak masalah, bisa masuk pakai gross split," tukas Alam.
Namun pihaknya belum mau membeberkan term and conditions yang diminta Pertamina. "Nanti lah kalau sudah final, enggak boleh mendahului perundingan," pungkasnya.
Sebagai informasi, alih kelola Blok East Kalimantan dari Chevron Indonesia Company ke Pertamina terganjal masalah dana abandonment and site restoration (ASR). Pertamina sebagai calon kontraktor pengganti Chevron keberatan bila dana ASR dibebankan pada mereka nantinya.
Menurut hitungan Pertamina, pengelolaan Blok East Kalimantan jadi kurang ekonomis kalau mereka harus membayar dana ASR untuk rehabilitasi lahan tambang. (mca/dna)