Vale Kecewa Pemerintah Buka Ekspor Bijih Nikel

Vale Kecewa Pemerintah Buka Ekspor Bijih Nikel

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 07 Agu 2017 21:05 WIB
Smelter (Foto: detikcom)
Jakarta - PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengaku kecewa karena pemerintah membuka kembali keran ekspor bijih nikel. Padahal, sebelumnya pemerintah sudah melarang ekspor mineral mentah pada 11 Januari 2014 untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri.

"Kami sangat prihatin mengingat bijih nikel Indonesia yang begitu berharga dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui diperbolehkan untuk diekspor kembali dengan nilai yang rendah. Hal ini tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri," kata Direktur Utama Vale, Nico Kanter, dalam keterangan tertulis, Senin (7/8/2017).

Ia menambahkan, saat ini harga nikel sedang dalam posisi sangat rendah, paling tidak 25% produser nikel di dunia sekarang beroperasi dengan arus kas negatif. Vale sendiri masih dapat mempertahankan arus kasnya, walaupun membukukan kerugian sebesar US$ 21,5 juta pada 6 bulan pertama tahun 2017.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan adanya penerbitan izin ekspor sebesar 8 juta ton dalam kurun waktu kurang lebih 7 bulan, harga nikel dunia makin jatuh. Jumlah 8 juta ton izin ekspor itu tak bisa dianggap remeh karena mencapai sekitar 4% dari suplai nikel dunia.

"Walaupun realisasi ekspor saat ini masih rendah, namun pasar telah memperhitungkan jumlah tersebut dalam menghitung suplai bijih nikel dunia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akan lebih banyak lagi volume ekspor bijih nikel yang akan diizinkan sampai 5 tahun ke depan," paparnya.

Sebelum pemerintah menerbitkan aturan mengenai relaksasi ekspor tambang mentah, para analis internasional memprediksi harga nikel tahun 2017 di kisaran US$ 11.000-12.250 per ton. "Namun setelah diterbitkannya aturan tersebut, para analis merevisi prediksi harga nikel pada kisaran US$ 9.800-10.300 per ton," ucapnya.

Gara-gara harga nikel yang terperosok ini, Vale jadi kesulitan mendapatkan mitra strategis untuk pembangunan smelter Bahodopi di Sulawesi Selatan.

"Hal ini menyebabkan sulitnya kami mendapatkan potensi mitra untuk berinvestasi di Bahodopi. Dengan kondisI harga seperti ini, kami harus mengutamakan keberlangsungan usaha operasi kami terlebih dahulu. Kondisi harga nikel yang rendah saat ini tidak terlepas dari dampak diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang membolehkan ekspor bijih mentah sejak awal 2017," tukas dia.

Inkonsistensi kebijakan hilirisasi mineral juga membuat investor malas membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri. Vale ingin berdialog dengan pemerintah untuk mencari solusi.

"Dengan diperbolehkannya kembali ekspor bijih nikel, walaupun secara terbatas, akan mengurangi insentif membangun smelter di dalam negeri karena pasokan bijih mentah menjadi tersedia di China, sehingga tidak lagi menjadi keharusan bagi para investor untuk membangun smelter di Indonesia. Oleh karena itu, kami akan terus berdialog dengan pemerintah untuk mendapatkan soluri yang terbaik," tutupnya. (mca/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads