Intip Upaya Pemerintah Jokowi Sediakan Listrik Murah

Wawancara Dirjen Listrik

Intip Upaya Pemerintah Jokowi Sediakan Listrik Murah

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 11 Sep 2017 07:15 WIB
Foto: Michael Agustinus
Jakarta - Kementerian ESDM di bawah pimpinan Ignasius Jonan berupaya mewujudkan cita-cita 'Energi Berkeadilan' bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sektor ketenagalistrikan, listrik harus bisa dinikmati oleh semua penduduk Indonesia di mana pun berada.

Maka listrik harus tersedia, pasokannya harus cukup, distribusinya harus menjangkau semua wilayah, dan tarifnya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pasokan listrik ditingkatkan lewat program 35.000 MW. Ada juga Program Indonesia Terang (PIT) untuk menjangkau daerah-daerah terpencil yang belum terlistriki dengan baik. Lalu tarif listrik ditetapkan tak boleh naik, ke depan harus makin efisien dan terjangkau. Subsidi listrik dibuat tepat sasaran, benar-benar untuk orang miskin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pelaksanaan semua kebijakan itu tentu tak mudah, ada berbagai tantangan yang perlu diselesaikan. Untuk mengupas upaya menyediakan listrik yang terjangkau untuk rakyat, detikFinance mewawancara khusus Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Sommeng, pada Kamis (7/9/2017). Berikut petikannya:

Bisa dijelaskan bagaimana upaya pemerintah mewujudkan 'Energi Berkeadilan' di sektor ketenagalistrikan?
Pertama tentunya program pemerintah itu berkaitan dengan peningkatan kapasitas, kaitannya dengan ketersediaan, artinya harus ada penambahan daya.

Kedua, setelah tersedia maka distribusinya harus baik, adil, semua bisa mendapat listrik dari Sabang sampai Merauke. Rasio elektrifikasi kita sekarang sudah 92,8%.

Ketiga, harganya juga harus terjangkau. Kalau jaringan transmisi dan distribusi bagus, harusnya harga listrik bisa turun. Itu akan menurunkan tarif listrik ke depan.

Setelah ketersediaan sudah mencukupi, distribusi bagus, harga terjangkau, sekarang kualitas dan pelayanan ke masyarakat harus makin baik. Itu program pemerintah.

Intip Upaya Pemerintah Jokowi Sediakan Listrik MurahFoto: Michael Agustinus


Bagaimana kebijakan pemerintah agar tarif listrik untuk masyarakat makin terjangkau?
Makanya pemerintah mengeluarkan aturan pembangkit listrik di mulut tambang, itu akan memangkas biaya bahan bakar untuk pembangkit.

Kemudian ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 46 Tahun 2017 kaitannya dengan gas bumi untuk pembangkit listrik. Kita batasi harga gas untuk pembangkit sebesar 14,5% Indonesian Crude Price (ICP). Itu kan untuk mengurangi biaya tanpa mengorbankan sektor hulu, jangan sampai produsen gas mati, tapi juga jangan high cost.

Untuk listrik dari energi baru terbarukan (EBT), kita ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017.

Apakah pemerintah juga akan mengatur harga batu bara untuk pembangkit-pembangkit listrik?
Memang kemarin ada usulan dari PLN agar ada harga batu bara DMO (Domestic Market Obligation) khusus untuk PLN. Pak Menteri menyatakan setuju kemarin di DPR. Itu kan memangkas biaya, pada gilirannya akan mengurangi tarif listrik.

Jadi ke depan harga batu bara DMO tidak diserahkan pada mekanisme pasar?
Iya, harus dijaga agar harganya stabil.

Selain harga bahan bakar, biaya distribusi bahan bakar untuk pembangkit listrik di Indonesia juga mahal. Bagaimana pemerintah memangkas biaya distribusi ini?
Proses bisnisnya enggak dikuasai sehingga rantai bisnisnya enggak efisien. Benar kita negara kepulauan, enggak bisa mendapatkan sebuah keseragaman, ada pulau yang lokasinya jauh-jauh, kondisi infrastrukturnya berbeda-beda.

Kita harus membuat sistem rantai distribusi yang pas untuk negara kepulauan. Contohnya model hub and spoke, kita ambil satu titik untuk pusat redistribusi. Rokok saja bisa, masa kita enggak bisa? Istilahnya, pusat kulakan.

Solusi lainnya adalah dengan teknologi, misalnya pakai PLTS Fotovoltaik. Sekarang PLTS dengan baterai yang makin kecil, makin murah, dan kapasitasnya makin besar. Atau arus laut, kan bisa dimanfaatkan. Jadi di sana sudah ada sumber energinya, manfaatkan, enggak usah pakai PLTD atau pembangkit gas, mahal mengirimnya.

Menurut data Kementerian ESDM, ada 12.000 desa di seluruh Indonesia yang belum terlistriki dengan baik. Bagaimana upaya pemerintah membuat swasta tertarik untuk ikut melistriki desa-desa terpencil itu?
Harusnya memang diciptakan suasana investasi yang kondusif di daerah-daerah remote. Apa sih yang bisa dikembangkan di sana? Misalnya di Indonesia Timur ada potensi pariwisata dan perikanan, sekarang pemerintah daerah harus mempromosikan. Diciptakan dulu permintaan, ada kebutuhan energi.

Mungkin juga harus ada insentif. Tapi saya enggak terlalu suka dengan insentif. Saya lebih suka investor datang dan melihat itu memang bagus.

Apakah ada swasta yang berminat jadi 'PLN mini' di daerah terpencil?
Banyak, tapi daerah harus mendukung juga, jangan mempersulit. Tapi jangan juga swasta minta izin lalu dibiarkan mangkrak, enggak dikerjakan.

Apakah sudah ada swasta yang mau melistriki daerah terpencil?
Ada itu di satu pulau di Wakatobi, investor diberi hak eksklusif. Dia bangun sendiri, laku, bisa hidup.

Sebenarnya berapa desa terpencil yang mampu dilistriki pemerintah dan PLN dalam setahun?
Dari sisi teknis bisa, enggak ada masalah. Tapi dari sisi keuangan harus dipertimbangkan.

Jadi apakah PLN atau swasta yang harus lebih didorong untuk berperan melistriki daerah-daerah terpencil?
Dua-duanya. Memang di aturan kita masih susah membuat model liberal. Memang bagus multiplayer dan multibuyer. Tapi itu cocok diterapkan kalau infrastruktur kelistrikan sudah matang.

Menteri ESDM menyatakan hanya sekitar 20.000 MW yang akan selesai pada 2019. Apakah itu tidak akan menyebabkan kekurangan pasokan listrik?
Kalau 20.000 MW bisa tercapai. Dulu kan 35.000 MW itu dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7% per tahun, sekarang pertumbuhan ekonomi kita 5% per tahun, ya kita sesuaikan.

Beberapa proyek pembangkit di program 35.000 MW, misalnya PLTU Cirebon, PLTU Batang diserang isu lingkungan. Bagaimana agar hal ini tidak menghambat program 35.000 MW?
Yang di luar kontrol pemerintah adalah faktor masyarakat sendiri. Masyarakat kadang memprotes dengan cara agak anarkis sehingga menciptakan keraguan bagi para investor.

Sebenarnya mudah mengatasinya, yang penting investor jujur. Bilang saja teknologinya apa yang dipakai, kalau perlu ada laporan tiap hari pakai alat ukur berapa CO2 yang timbul.

Kalau masyarakat dan pemerintah sudah satu pandangan bahwa listrik ini penting, pasti jalan.

Mungkin pemerintah perlu mengatur standar teknologi untuk PLTU agar tingkat polusi pembangkit-pembangkit dapat diminimalkan?
Kita belum mengatur itu, tapi memang mensyaratkan yang clean coal teknologi. Kalau kita menetapkan, khawatirnya nanti menunjuk teknologi tertentu.

Kalau di Jepang sudah ada advanced ultra supercritical. Lebih modern dari ultra supercritical. Itu sudah minim sekali dampak lingkungannya. Ada juga itu di Bali, PLTU Celukan Bawang, enggak kelihatan ada asapnya, enggak kelihatan tempat batu baranya. Lumba-lumba berenang di laut sekitarnya.

Apakah sebaiknya porsi pembangkit batu bara dikurangi saja, diganti dengan bahan bakar lain yang lebih ramah lingkungan?
Dalam bauran energi, batu bara masih 50%. Kalau ini ditekan, nanti ketersediaan listrik bagaimana? Gantinya apa? Apakah energi baru terbarukan bisa? Kita masih tergantung sama batu bara. Investasi energi baru terbarukan masih mahal, mempengaruhi daya saing kita. Yang penting kan semuanya bisa dikontrol, batu bara terkontrol, gas terkontrol, minyak terkontrol.

Banyak masyarakat yang mengeluhkan penyesuaian tarif listrik 900 VA tahun ini. Bisa dijelaskan arah kebijakan subsidi listrik pemerintah?
Subsidi itu memang amanat konstitusi, harus ada. Tapi subsidi untuk membantu masyarakat yang tidak mampu. Membantu itu kan tidak harus ke komoditasnya, nanti enggak tepat sasaran seperti dulu subsidi BBM.

Kita perlu mengkaji, sebenarnya per rumah tangga itu butuh listrik rata-rata berapa. Kita pernah mengkaji, pelanggan 450 VA golongan dhuafa itu konsumsi listriknya 60 kWh per bulan. Kebijakan tahun 2013, pelanggan 450 VA dapat subsidi sampai penggunaan 60 kWh, kelebihannya enggak disubsidi. Tapi nanti dengan adanya motor listrik dan sebagainya, konsumsinya pasti meningkat, golongan dhuafa sudah enggak 60 kWh lagi.

Jadi menurut saya, berdasarkan pemakaian saja subsidinya. Misalnya dalam sebulan 100 kWh, lebih dari itu bayar sesuai tarif normal. Masa pemerintah mensubsidi gaya hidup yang sudah bukan kebutuhan dasar juga?

Apakah penyalurannya akan diubah supaya lebih tepat sasaran, mungkin mau pakai kartu bansos?
Sekarang model penyalurannya kan jadi satu, non tunai lewat kartu. Tapi untuk listrik kan enggak bisa dijual lagi, masyarakat miskin dapat listrik murah kan enggak mungkin dia jual atau pindahkan ke orang lain.

Sekarang PLN benar-benar melakukan pencocokan data. 40% penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah dapat subsidi. Jadi memang mungkin yang perlu diperbaiki data itu benar-benar valid, PLN benar-benar memantau door to door ke rumah-rumah mencocokan ID pelanggan.

Pemerintah di RAPBN 2018 mengajukan tambahan penerima subsidi 900 VA sampai 2,4 juta pelanggan, artinya kemarin data yang digunakan kurang valid?
Sekarang kan sudah berdasarkan ID pelanggan, bisa dipastikan. Kalau dulu rancu. Sekarang lebih mudah, data TNP2K ada Nomor Induk Kependudukan (NIK), alamat, dicocokkan dengan ID pelanggan, cocok betul-betul sesuai.

Menurut data TNP2K, ada sekitar 3,7 juta pelanggan listrik 450 VA yang tidak layak disubsidi. Apakah akan dicabut juga seperti halnya 18,7 juta pelanggan 900 VA?
Itu kan masalah bagaimana membuat datanya lebih dapat dipercaya, berapa jumlah sebenarnya. Kita harus ada kajian. (mca/wdl)

Hide Ads