"Subsidi itu memang amanat konstitusi, harus ada. Subsidi untuk membantu masyarakat yang tidak mampu," tegas Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy N Sommeng, kepada detikFinance, Selasa (12/9/2017).
Meski demikian subsidi listrik harus tepat sasaran, benar-benar untuk orang-orang yang tidak mampu. Selain menyeleksi penerima subsidi listrik, pemerintah juga mewacanakan membatasi subsidi listrik berdasarkan pemakaian. Tujuannya agar subsidi listrik tak dihabiskan untuk pemakaian di luar kebutuhan dasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita perlu mengkaji, sebenarnya per rumah tangga itu butuh listrik rata-rata berapa. Kita pernah mengkaji, pelanggan 450 VA golongan dhuafa itu konsumsi listriknya 60 kWh per bulan. Kebijakan tahun 2013, pelanggan 450 VA dapat subsidi sampai penggunaan 60 kWh, kelebihannya enggak disubsidi," papar Andy.
Sebagai gambaran, misalnya pelanggan listrik rumah tangga 450 VA mengonsumsi listrik sampai 100 kWh, maka tarif subsidi hanya berlaku untuk pemakaian 1-60 kWh. Tarif normal yang tak disubsidi diberlakukan mulai dari pemakaian 61-100 kWh. Jadi sisa 40 kWh diberlakukan tarif normal, hanya 60 kWh saja yang disubsidi.
"Jadi menurut saya, berdasarkan pemakaian saja subsidinya. Misalnya dalam sebulan 60 kWh, lebih dari itu bayar sesuai tarif normal. Masa pemerintah mensubsidi gaya hidup yang sudah bukan kebutuhan dasar juga?" ucapnya.
Data penerima subsidi listrik juga harus valid, verifikasi data pelanggan harus dilakukan dengan benar. Jangan sampai ada orang miskin yang tidak terdata sehingga tak mendapatkan haknya atas subsidi listrik. Jangan sampai juga orang kaya malah masuk dalam daftar penerima subsidi.
"Sekarang PLN benar-benar melakukan pencocokan data. 40% penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah dapat subsidi. Jadi memang mungkin yang perlu diperbaiki data itu benar-benar valid, PLN benar-benar memantau door to door ke rumah-rumah mencocokan ID pelanggan," tutupnya. (mca/mca)